Bulan lalu kaka sempat protes ke saya, kenapa sih ada hari Sabtu dan Minggu. Dia pengen hari itu dihapus, supaya bisa sekolah tiap hari, katanya. Saya senang doang. Jadi saya nggak perlu khawatir anak kecil satu ini ngambek sekolah. Nyuruh dia siap-siap pun lebih mudah. Sering kali dia siap lebih dulu dibanding saya, yang akan nganter dia ke sekolah.
Tapi eh tapi.... Pagi ini, Kamis (10/12/15) dia bilang nggak mau sekolah. Itu dia bilang sambil sibuk menggambar di buku gambarnya yang baru dibeli. Karena saya kira alasannya dia nggak mau acara menggambarnya keganggu gara-gara dia harus siap-siap sekolah, saya usulkan dia bawa aja buku gambarnya. "Nanti di sekolah Kaka bisa gambar Optimus Prime, dan kasihliat Bu Ika (guru kelas A). Dia nggak menanggapi. Tapi nggak lama kemudian dia selesaikan juga acara menggambar itu, lalu buka celana dan menuju kamar mandi. Singkat cerita, akhirnya dia sekolah juga.
Soal mogok sekolah ini, sebenarnya pernah juga kejadian dua minggu lalu. Waktu itu saya sengaja day off kantor. Saya day off do tengah kondisi kantor yang kekurangan orang. Agak nggak enak sih sebenarnya. Tapi pertimbangan saya waktu itu, adik saya yang biasa jemput dia hari itu nggak bisa jemput karena ada acara piknik sekolah anaknya.
Hari itu juga, Kamis, ada acara semacam talkshow cara mudah menjadi orangtua di sekolah anak saya. Jadi saya sengaja day off biar bisa jemut Kaka, ikut acara di sekolah, dan santai sejenaklah. Eh... si Kaka malah nggak sekolah. Waktu itu dibujuk pun nggak mau. Jadilah hari itu kami bermalas-malasan saja. Keesokannya, Jumat, Kaka kembali bilang nggak mau sekolah. Saya cari akal supaya dia mau nggak nyuruh dia segera siap-siap sih. Saya cuma bilang, "Ya udah, mama aja yang ke sekolah Kaka." Lalu dia nanya, "Mau ngapain mama ke sekolah?" "Mau ketemu Bu Ika. Mama mau bayar sekolah Kaka," kata saya. Saya nggak berharap dia lalu mau ikut ke sekolah sih. Saya biarin aja dia dengan aktivitasnya, waktu itu main lego-legoan. Sementara saya tetap bersiap-siap ngantar dia. Selesai saya pakai baju, dia malah bilang mau ke sekolah juga. Ya udah, selamat deh hari itu. dia sekolah juga. Syaratnya, bawa mobil-mobilan. Cusss lah!
Kamis, 10 Desember 2015
Senin, 30 November 2015
Kalau Mahal, Kenapa Dibeli?
Menolak perminataan anak? Pasti itu akan terjadi. Saya sudah mengalaminya beberapa kali. Maka, sebelum melakukannya, saya banyak belajar triknya. Intinya sih, anak bakal ngerti kok, yang penting kasih alasan yang sekiranya masuk akal buat dia.
Permintaan Kaka yang sering kali saya tolak adalah beli mainan. Ada beberapa mainan yang saya kira dia nggak butuh karena udah punya banyak. Misalnya mobil-mobilan semacam hot wheel. NGgak kehitung jumlahnya. Juga dari merek lain. Sebut aja jenis kendaraannya, dari monil balap sampai pickup, dari truk molen sampai truk pemadam kebakaran, dari truk gandeng sampe truk gendong, dari sepeda motor sampai helikopter. Ada beberapa yang dia suka banget, dan kalau hilang mesti beli lagi.
Nah, ada banyak alasan yang saya pakai untuk nolak permintaan Kaka. Untungnya dia nggak pernah nolak alasan saya. Suatu kali, saya kasih alasan bahwa harga mainan yang dia mau itu terlalu mahal, apalagi dia udah punya yang sejenis. Apalagi kalau bukan mobil-mobilan? Oke, dia nurut. Diletakkannya lagi mainan itu di rak toko, Dia lalu mengambil mainan serupa yang harganya lebih masuk akal, meski dia sebenarnya udah punya yang sejenis juga. Saya izinkan. Kesian kan kalau ditolak terus.
Selang beberapa lama setelah penolakan itu, dia sering kali nanya harga barang yang saya pegang. Atau barang-barang dia yang saya beli tanpa sepengetahuan dia. "Baju ini harganya berapa?" Saya sebuut harganya. Mungkin dia belum ngerti konsep uang, maka dia nanya lagi, "Mahal nggak?" Saya jawab aja, "Mahal." Lalu keningnya berkerut. "Kalau mahal kenapa dibeli?" Nah lho.... Tapi akhirnya saya jelasin kenapa saya bei barang itu. Misalnya, karena saya butuh dan belum punya. Ah si kaka. suatu saat kamu akan mengerti. Ada barang mahal tapi pantas. Misalnya karena kamu butuh atau memang bagus. Tapi, ada juga barang yang harganya mahal tapi ya nggak pantas untuk barang itu, atau kamu sudah punya dan nggak butuh-butuh amat. Misalnya? Ya mobil-mobilan itu, Nak.
Permintaan Kaka yang sering kali saya tolak adalah beli mainan. Ada beberapa mainan yang saya kira dia nggak butuh karena udah punya banyak. Misalnya mobil-mobilan semacam hot wheel. NGgak kehitung jumlahnya. Juga dari merek lain. Sebut aja jenis kendaraannya, dari monil balap sampai pickup, dari truk molen sampai truk pemadam kebakaran, dari truk gandeng sampe truk gendong, dari sepeda motor sampai helikopter. Ada beberapa yang dia suka banget, dan kalau hilang mesti beli lagi.
Nah, ada banyak alasan yang saya pakai untuk nolak permintaan Kaka. Untungnya dia nggak pernah nolak alasan saya. Suatu kali, saya kasih alasan bahwa harga mainan yang dia mau itu terlalu mahal, apalagi dia udah punya yang sejenis. Apalagi kalau bukan mobil-mobilan? Oke, dia nurut. Diletakkannya lagi mainan itu di rak toko, Dia lalu mengambil mainan serupa yang harganya lebih masuk akal, meski dia sebenarnya udah punya yang sejenis juga. Saya izinkan. Kesian kan kalau ditolak terus.
Selang beberapa lama setelah penolakan itu, dia sering kali nanya harga barang yang saya pegang. Atau barang-barang dia yang saya beli tanpa sepengetahuan dia. "Baju ini harganya berapa?" Saya sebuut harganya. Mungkin dia belum ngerti konsep uang, maka dia nanya lagi, "Mahal nggak?" Saya jawab aja, "Mahal." Lalu keningnya berkerut. "Kalau mahal kenapa dibeli?" Nah lho.... Tapi akhirnya saya jelasin kenapa saya bei barang itu. Misalnya, karena saya butuh dan belum punya. Ah si kaka. suatu saat kamu akan mengerti. Ada barang mahal tapi pantas. Misalnya karena kamu butuh atau memang bagus. Tapi, ada juga barang yang harganya mahal tapi ya nggak pantas untuk barang itu, atau kamu sudah punya dan nggak butuh-butuh amat. Misalnya? Ya mobil-mobilan itu, Nak.
Kamis, 22 Oktober 2015
Hipertensi Saat Hamil
Hamil dan darah tinggi? Itu sesuatu hal yang perlu diwaspadai karena bisa berisiko preeklampsia, bayi kurang nutrisi, plasenta copot, dll. Dan sekarang saya yang harus waspada karena dua hal itu datang bersamaan, sekarang ini. Bagaimana ceritanya, tekanan darah saya yang biasanya rendah tiba-tiba jadi tinggi? Hohoho... saya juga nggak ngerti.
Senin, 19 Okt 2015 lalu, saya ke dokter biasa. Keluhan saya waktu itu batuk pilek. Batuknya udah mulai berdahak, agak kehiajauan warnanya. Berdasarkan pengalaman saya, kalau begini nih batpil saya akan bertahan lama. Biasanya nggak mempan dikasih obat batuk biasa, butuh antibiotik yang cuma bisa didapat dengan resep dokter.
Oke, dokter periksa saya seperti biasa. Napas saya terdengar bersih, katanya. Tapi ketika dia periksa tensi darah saya, dia agak nggak percaya. Lalu mengulanginya beberapa kali. "Tekanan darah ibu tinggi ya, 140/100," katanya, sambil tetap sibuk dengan alat tensinya. "Ini nggakbaik buat kehamilan," katanya lagi. Lalu dia menjelaskan banyak hal, termasuk kemungkinan penyebab dan risiko. Dia tanya, adakah orangtua saya yang menderita darah tinggi. "Oh ya, ayah saya," kata saya. "Hoo... ibu ini ada bakat darah tinggi. Tapi ada kemungkinan juga karena hormon kehamilan," katanya.
Jadi, karena saya hipertensi, dokter tidak berani ngasih saya obat batpil. Alasannya obat batpil bisa bikin tensi saya tambah tinggi. Dia cuma kasih antibiotik yang konon nggak bahaya buat kehamilan saya. Semoga benar. Say disuruh istirahat total, di rumah aja, selama 24 jam. Lalu besok kembali lagi buat kontrol tensi. Saya melakukan itu. Ketika kembali lagi keeskona harinya, tensi saya belum turun. "Saya nggak kasih ibu obat penurun tekanan darah, cuma saya kasih obat antioksidan," kata si dokter. Konon, antioksidan ini juga bisa menurunkan tensi, tapi kalau orang awam tahunya ini adalah obat pengencer dahak. Ya sudalah, tokh berfungsi buat ngencerin dahak gue juga kan. Gue cuma dikasih dua karena besoknya lagi gue harus ketemu dokter kandungan.
Ya sudha, akhirnya semalam gue ke dokter kandungan, meskipun jadwal kontrol gue masih seminggu lagi. tekanan darah gue udah turun jadi 130/100. Gue dikasih antioksidan untuk dua minggu, nanti setelah dua minggu kontrol lagi. Kalau hasilnya bagus, obatnya dihentikan. Tapi nggak bagus, ya terusin sampai melahirkan.
Jadi apa penyebab darah tinggi gue? Ya konon kata dokter kandungan, karena hormon. Tapi kalau benar karena hormon, biasanya satu atau dua bulan setelah melahirkan akan normal lagi. Jadi kalaupun gue dikasih obat penurun tekanan darah, bisa dihentikan. Tapi semoga sih nggak sampe pake obat penurun tekanan darah itu.
Senin, 19 Okt 2015 lalu, saya ke dokter biasa. Keluhan saya waktu itu batuk pilek. Batuknya udah mulai berdahak, agak kehiajauan warnanya. Berdasarkan pengalaman saya, kalau begini nih batpil saya akan bertahan lama. Biasanya nggak mempan dikasih obat batuk biasa, butuh antibiotik yang cuma bisa didapat dengan resep dokter.
Oke, dokter periksa saya seperti biasa. Napas saya terdengar bersih, katanya. Tapi ketika dia periksa tensi darah saya, dia agak nggak percaya. Lalu mengulanginya beberapa kali. "Tekanan darah ibu tinggi ya, 140/100," katanya, sambil tetap sibuk dengan alat tensinya. "Ini nggakbaik buat kehamilan," katanya lagi. Lalu dia menjelaskan banyak hal, termasuk kemungkinan penyebab dan risiko. Dia tanya, adakah orangtua saya yang menderita darah tinggi. "Oh ya, ayah saya," kata saya. "Hoo... ibu ini ada bakat darah tinggi. Tapi ada kemungkinan juga karena hormon kehamilan," katanya.
Jadi, karena saya hipertensi, dokter tidak berani ngasih saya obat batpil. Alasannya obat batpil bisa bikin tensi saya tambah tinggi. Dia cuma kasih antibiotik yang konon nggak bahaya buat kehamilan saya. Semoga benar. Say disuruh istirahat total, di rumah aja, selama 24 jam. Lalu besok kembali lagi buat kontrol tensi. Saya melakukan itu. Ketika kembali lagi keeskona harinya, tensi saya belum turun. "Saya nggak kasih ibu obat penurun tekanan darah, cuma saya kasih obat antioksidan," kata si dokter. Konon, antioksidan ini juga bisa menurunkan tensi, tapi kalau orang awam tahunya ini adalah obat pengencer dahak. Ya sudalah, tokh berfungsi buat ngencerin dahak gue juga kan. Gue cuma dikasih dua karena besoknya lagi gue harus ketemu dokter kandungan.
Ya sudha, akhirnya semalam gue ke dokter kandungan, meskipun jadwal kontrol gue masih seminggu lagi. tekanan darah gue udah turun jadi 130/100. Gue dikasih antioksidan untuk dua minggu, nanti setelah dua minggu kontrol lagi. Kalau hasilnya bagus, obatnya dihentikan. Tapi nggak bagus, ya terusin sampai melahirkan.
Jadi apa penyebab darah tinggi gue? Ya konon kata dokter kandungan, karena hormon. Tapi kalau benar karena hormon, biasanya satu atau dua bulan setelah melahirkan akan normal lagi. Jadi kalaupun gue dikasih obat penurun tekanan darah, bisa dihentikan. Tapi semoga sih nggak sampe pake obat penurun tekanan darah itu.
Kamis, 01 Oktober 2015
Halo dr SpOg
Akhirnya semalam, Rabu, 30 September 2015, saya memutuskan ke dokter. Awalnya saya mau ke Bunda Margonda karena ngerasa udah familiar dengan rumah sakit itu. Saya udah sempat mendaftar untuk konsul dengan dr Dian Purnama. Tapi... mengingat biaya yang akan dikeluarkan besar banget buat ukuran saya (saya memperhitungkan konsul, obat, dan USG sekitar 600 ribu, lalu tes lab Rp 400 ribu) maka saya memutuskan ke klinik dekat rumah aja.
Klinik ini sebenarnya juga udah familiar buat saya. Namanya Medisca, di jalan RTM menuju Pondok Duta, Kelapa Dua, Depok. Klinik ini langganan saya kalau saya atau Kaka sakit ringan. Dokter umumnya namanya dr. M.J. Fransisca. Meski mukanya kelihatan nggak ramah, tapi saya suka dengan cara kerjanya. Dia periksanya detail, bukan cuma denger detak jantung melalui stetoskop aja. Dia juga ngejelasinnya rinci. Ibu saya pernah konsul telinga, dan si dokter sampai bikin gambar telinga plus dalem2nya buat ngejelasin. Saya pun mempromosikan si dokter ini ke adik dan ibu saya. Dan mereka juga cocok.
Kalau dokter kandungannya, terang aja saya belum coba. Tapi adik saya pernah, untuk periksa benjolan di payudaranya. Adik ipar saya juga pernah, buat konsul kehamilannya yang kemarin abortus dan yang sekarang baru 7-8 minggu. Tapi, akhirnya SpOg di klinik jugalah yang saya pilih. Namanya dr. Samson Chandra, SpOg. Konon, si dokter SPoG ini adalah suami dr. Fransisca. Selain praktik di Medisca, dia juga dokter konsul di Permata Medika dan Meilia Cibubur.
Sebelum saya memutuskan konsul dengan dr. Samson, saya crai informasi dulu dong di mbak Google. Nggak terlalu banyak informasi yang saya dapat, nggak kayak dr. Maman, dr. Tofan, atau dr. Dian. Saya nemu artikel dari Okezone yang narsumnya dia, tentang tanda-tanda ehamilan. lalu ada juga tanya-jawab di Republika, narsumnya juga dia. Kalau di blog-blog atau di forum, belum banyak yang ngomongin. Jadi, saya nggak bisa dapat gambaran jelas tentang dokter ini.
Dokter ini praktik di Medisca setiap Senin-Rabu-Jumat, pukul 20.00-22.00. Sabtu jam 9-11 pagi. Nah, karena waktu itu Rabu, dan jadwal si dokter ini malam, maka saya sengaja pulang cepat dari kantor. Biar sempat leha-leha di rumah, lalu berangkat ke klinik. Jam 8 kurang dikit saya pun berangkat. diantar suami dan si Kaka. Nggak sampai 10 menit, saya pun sampai di klinik itu. Ketika masuk, udah ada seromobongan ibu dengan perut membuncit, ditemani suami-suami mereka, duduk manis di ruang tunggu. Saya curiga, jangan-jangan saya dapat urutan terakhir. Dan bener kan, ketika mendaftar, saya dapat urutan 10 dari 11 pasien yang konsul malam itu.
Urutan ke-10, dapat giliran jam 10 lewat dikit. Saya pun masuk ke ruang praktiknya. Bagus. Mungkin karena bangunan klinik ini juga baru, dan karena ini klinik sendiri, mungkin dia sendiri juga yang ngerancang ruangannya. Sedikit lebih bagus dari ruang konsulnya Bunda lah. Di ruangan ini dia punya alat USG dengand ua monitor, satu untuk dia dan satu untuk pasien yang ditaro di tembok. Jadi ketika dia meriksa, pasien juga bisa liat. Di Bunda, ada beberapa ruangan yang layarnya cuma untuk dokter aja.
Pertanyaan pertama si dokter ketika saya masuk adalah: "Ini kehamilan yang keberapa?" Saya jawab. "Yang pertama ini?" katanya sambil nunjuk Kaka yang ikutan masuk. Saya jawab lagi. Lalu pertanyaan berikutnya pun mengalir, mulai dari persalinan pertama itu tahun berapa, normal apa sesar, kenapa sesar, di mana persalinannya, dibantu dokter siapa, kenapa milih rumah sakit yang sebenarnya agak jauh itu, dan pertanyaan-pertanyaan standar dokter kandungan lainnya seperti kapan hari pertama haid terakhir, dll.
Dokter berkulit putih khas Asia Timur ini agak ramah, nggak terburu-buru juga. Setelah puas bertanya-tanya, dia minta saya naik ke tempat tidur untuk diperiksa. Dia nggak pake suster lho. Setelah menekan-nekan perut saya dengan alat USG, saya bisa melihat si kecil ini di dalam perut sini. Dia nggak ngomong sama sekali. Baru ketika hampir selesai dia bilang, "Ini janinnya, ini kepalanya dan ini badannya. Usianya udah 9 minggu 2 hari," katanya. Lalu dia cetak hasil USG. Dua kali. Satu untuk dia simpan di berkas pasien saya yang disimpan di klinik, satu lagi untuk saya bawa pulang. Oh ya, meski layanannya dokternya kayak di rumah sakit yang lumayan oke, sayangnya kita nggak dibekalin buku pasien yang bisa dibawa pulang kayak di Bunda, HGA, atau Hermina. Jadi, ya udah, saya cuma bawa pulang foto USG tadi aja.
Saya di dalam nggak terlalu lama, mungkin sekitar 20 menit. Saya dibekalin folic acid dan antimual. Saya sempat bilang bahwa saya minum folamil genio. kata dia itu juga oke, malah lebih lengkap. Cuma, apa saya nggak apa-apa? nggak mual? Oh terang saya mual. Dan saya baru tau, folamil ini, kata si dokter, bikin mual. Saya sih nganggapnya mungkin di trimester pertama aja. Itu wajar kok. Waktunya bayar. Sebelum ke situ, saya tanya adik ipar, berapa biaya yang dia keluarin untuk satu kali konsultasi dan obatnya. Ternyata cuma Rp 163 ribu. Maka saya nggak kaget-kaget amat waktu saya dikasih tagihan Rp 175 ribu. Cuma suami aja yang agak kaget, murah banget katanya. Padahal udah dapat pelayanan yang lumayan oke, USG dan diprint pula.
Senin, 28 September 2015
pebedaan pertama dan kedua
Setiap kehamilan itu memang berbeda. Itu bukan teori lho. Dulu, ya. Ketika saya bekerja di majalah Mother&Baby, saya banyak dengar cerita itu dari ibu-ibu pembaca. Dan sekarang saya mengalami sendiri. Uhuuk! Iya, kehamilan kali ini berasa beda banget. Entah karena usia juga... (Eh saya menjelang memasuki usia lampu kuning untuk hamil), atau karena saya sekarang lebih manja aja (dulu kan nggak pake asisten buat di rumah, sekarang pake), atau karena memang beda aja.
Usia kehamilan saya sekarang sekitar 8 minggu. Dan masih belum ke dokter. Soal dokter ini, saya bakal cerita lagi. Dan saya mual. Saya gampang capek. Saya emosional. Saya bla bla. (Lalu teringat pada kehamilan pertama yang super duper jagoan). Tapi entah kenapa saya kali ini lebih santai. Misalnya ya itu tadi, sampe usia kandungan segini belum juga ke dokter. Mungkin karena berasa beberapa di antara hal-hal yang perlu saya ketahui itu udah saya ketahui.
Kedua, saya nggak lagi minum susu hamil setelah tahu bahwa semua susu sama. Cuma komersialisasilah yang bikin ada susu khusus ibu hamil, khusus ibu menyusui, de el el.
Ketiga, sekarang kerjaan saya nggak sesantai dulu.... harus ke kantor tiap hari dan jaraknya lumayan jauh. Nah, mungkin ini juga yang bikin saya gampang capek.
Dan keempat, banyak faktor yang bikin saya lebih emosional. terutama di keluarag kecil saya sih. Banyak hal ingginnya saya ubah tapi nggak berhasil, dan banyak hal yang pengennya tetap tapi ternyata berubah.
Senin, 21 September 2015
Dicecar Cacar
Tepat dua pekan Kaka izin nggak sekolah. Alasannya, sakit, cacar sih tepatnya. Virus yang bikin kulit orang bintil-bintil berisi air itu menyerang Kaka sekitar minggu pertama September. Awalnya saya melihat ada luka di mukanya, seperti kulit terbuka, ketika bangun tidur. Saya kira itu karena Kaka nggak sengaja mencakar kulitnya sendiri waktu tidur. Esoknya, muncullah bintil-bintil berisi air itu. Di punggung, di tangan, di kaki, dan di wajah tentunya.
Untungnya cacar air zaman sekarang nggak ganas. Kaka hampir dibilang nggak panas. Pas malam pertama aja dia agak hangat, mungkin sekitar 37,5. tapi besoknya adem lagi, seterusnya sampai akhirnya kemarin sembuh. Saya pun tak ke dokter secara resmi. Cuma konsultasi ke sepupu yang memang dokter, yang lagi main ke rumah. Katanya, ke dokter mana pun nggak bakal dikasih obat. Paling dikasih imboost atau multivitamin lain untuk memperkuat daya tahan tubuh dan bedak salisil. Kalau panas, paling dikasih obat penurun panas. Maka, tana ke dokter, saya beli aja itu secara bebas. Kaka memang nggak panas lagi, maka saya nggak kasih obat panas. Biarin aja dia main seperti biasa di rumah. Cuma saya usahakan minim kontak dengan orang lain, termasuk adik sepupu teman mainnya sehari-hari. Jadi, si Kaka dikurung aja di rumah.
Pernah suatu hari, pertengahan pekan kedua izin, Kaka kangen sekolah. Saya pun mengantarnya. Awalnya nggak masalah. tapi begitu saya pulang, sebuah pesan singkat masuk di ponsel saya. Isinya, saya diminta ke sekolah untuk membicarakan kondisi Kaka yang kayaknya belum sehat benar. Bukan persoalan Kakanya, Kaka sih udah siap sekolah, tapi persoalan teman-temannya yang takut ketularan. Karena, konon cacar itu akan menular ketika masa menjelang sembuh. Hari itu Kaka tetap sekolah, tapi keesokan harinya izin lagi sampai tadi. Ah semoga nggak sakit lama lagi ya...
Kamis, 03 September 2015
Baju Hamil? Nggak Deh
Ada beberapa momen yang bisa dijadikan buat belanja baju baru, lebaran, ulang tahun, pernikahan saudara, dan... kehamilan. Iya dong... hamil berarti perut menggendut, paha melebar, kadang-kadang dada juga membesar. Nah, baju-baju lama nggak mungkin bisa nutupin segala sesuatu yang memebsar itu kan...
Biasanya, orang hamil ya belanja baju hamil. Itu lho... baju-baju yang bagian perutnya lebar, dress gaya babydoll, atau kalau celana, celana yang pinggang karet atau tak berpinggang karena bagian pinggang ditambahin bahan supaya bisa nampung perut dan karetnya dipindahin ke atas. Tapi ingat.. itu cum bisa dipake selama hamil, gak sampe sembilan bulan.
Tapi buat gue, baju hamil itu nggak banget. Bikin gue kelihatan tambah tua, tambah gendut, tambah... yang nggak bagus-bagus deh. Apalagi gue yang pendek gini. Hamil Kaka dulu pun gue nggak beli baju hamil. Yanggue pake adalah baju-baju yang elastis, jadi bisa mengakomodasi perut gue yang membuncit, atau baju-baju yang memang longgar. Kalau celana? Ya terang aja, yang ini sih nggak bisa diakalin lagi. Bisa aja sih gue nggak usah pake celana, dress aja. kan banyak tuh dress (bukan dress hamil) yang memang bagian perutnya longgar. Tapi buat gue dress itu nggak praktis karena gue harus turun naik kereta, ojek, atau bus, pakai dress.
Nah, kali ini juga begitu. Oke gue butuh baju baru, jugacelana baru buat kehamilan kali ini. tapi bukan baju hamil ya....
Adik yang Dinanti
"Kapan si Kaka punya adik?" Pertanyaan itu sering banget ditujukan ke saya kalau lagi kumpul keluarga atau teman-teman lama, menggantikan pertanyaan usang,"Kapan kawin?" atau "Kapan punya anak?" yang udah terjawab sebelumnya. Tak lama lagi, pertanyaan "Kapan si Kaka punya adik?" ini pun akan terjawab.
Menjelang akhir pekan lalu, begitu bangun tidur, gue langsung pipis dan mewadahinya di gelas sekali pakai. Test pack udah di tangan. Sesuai petujuk, gue celupkanlah test pack itu ke pipis gue. Tak lama menunggu. Dua garis pink pun muncul, satu jelas, satu samar-samar. Tapi gue yakin sekali bahwa itu menunjukkan bahwa gue positif hamil. Dan benar kan, beberapa hari kemudian haid gue nggak kunjung datang. Jadi kalau dihitung-hidung berdasarkan kalender ala dokter ob gyn, kehamilan gue sekarang berusia sekitar 5-6 pekan.
Test pack itu sebenarnya udah gue siapin bulan lalu karena berharap hamilnya saat itu. Tapi ternyata, kami waktu itu gagal mempertemukan sperma dan indung telur hahaha. Barulah bulan ini sukses. Tes ini gue lakukan di tanggal yang sama dengan hari pertama haid bulan lalu. Artinya, saat itu gue baru terlambat sehari atau dua hari. Siklus haid gue memang selalu maju sehari atau dua hari. Tapi gue yakin banget hamil. Apa tandanya? Mulut gue pahit seminggu belakangan ini. Trus perut bagian bawah suka pegal. gejala ini sebenarnya beda banget sama yang gue rasain waktu awal-awal hamil Kaka. Dulu gue tau hamil ketika ada bercak cokelat di underwaer gue. Beberapa hari sih, sempet mikir bahwa itu pertanda menjelang haid yang ternya atak kunjung datang sampai beberapa pekan kemudian. Baru kemudian gue beli testpack, disambung dengan ke dokter kandungan.
Dulu waktu hamil Kaka, gue terbilang perkasa. Waktu itu gue punya hobi baru, yaitu lari-lari. Kadang-kadang lari ngejar narsum yang sering ogah diwawancara wartawan karena takut ditanya-tanya sesuatu yang masih rahasia, kadang-kadang juga ngejar kereta yang meskipun gue berhasil ngejar nggak bakal gue kawinin. Gue juga pernah liputan ke hutan kalimantan melalui perjalanan 12 jam, 3 kali ganti mobil, karena harus lewat jalanan terjelek yang pernah gue temui seumur hidup gue.
Kali ini, gue juga berharap keperkasaan gue itu nggak hilang. Gue masih pengen ke mana-mana, gue nggak pengen diperlakukan beda karena gue cuma hamil, bukan sakit. Dan semoga kehamilan gue kali ini juga nggak mendatangkan sakit supaya gue tetap happy dengan adik yang dinanti ini.
Kamis, 13 Agustus 2015
Kaka Sekolah
Ah akhirnya hari yang ditunggu-tunggu laki-laki kecil itu datang juga. Kamis, 30 Juli 2015, Kaka mulai sekolah. Hari itu udah ditunggu sejak lama. Ketika awal tahun, saat kami keliling ke beberapa sekolah, dia udah ngerasa bahwa itu adalah sekolah. Apalagi ketika akhrinya memutuskan memilih TKIT Fitri, dan beberapa kali sebelum tahun ajaran baru dimulai Kaka harus ke sekolah itu untuk berbagai keperluan. Itu juga dia anggap mulai sekolah.
Sekolah yang saya pilih buat Kaka itu berkonsep islami. Mereka diperkenalkan Islam sejak dini, sesuatu yang mungkin nggak bisa banyak didapat Kaka dari saya. Mereka masuk jam 7.15. Sebelum masuk kelas, anak-anak, dari PG sampapi TK B, diajak duduk bersama di halaman kelas. Lalu diajak menghapal surat-surat pendek dengan seorang guru khusus baca Quran. Ini juga sama sekali belum dikuasai Kaka. Bukannya saya nggak mau ngajarin, tapi saya kesulitan untuk itu. Bayangin, setiap saya mulai baca basamalah, Kaka langsung bilang, "Mama nggak usah ngaji, nyanyi aja." Nah lho. akhirnya nyanyilah saya, balonku ada lima.
Pukul 8 mereka pun masuk kelas. Di sinilah mereka baru mulai belajar kayak TK biasa. Tapi sebenarny bukan belajar juga sih, lebih pada memperkenalkan cara hidup islami, misalnya bagaimana sikap makan yang benar. Oh ya, setiap hari temanya beda. Saya lupa sih apa aja, karena saya belum dapat program sekolah. tapi kepala sekolahnya sempat ngejelasin. Hari Senin misalnya ada pelajaran kebangsaan, ini semacam mengenal negara lebih baik. Misalnya bendera, lagu kebangsaan, dll. Trus Kamis ada pelajaran salat. Soal salat sebenarnya Kaka sempat rajin, ke masjid atau ikut saya salat di rumah. Tapi belakangn ini dia mulai malas. Lalu, ada jam makan snack.
Di sini mereka diajari adab makan, dari cuci tangan, antri ambil makanan, makan dengan tangan kanan, makan dengan sikap duduk, dll. Nah, soal makan ini saya agak telat ngajarin Kaka makan sendiri. Di usianya yang hampir 4 tahun, Kaka masih disuapin. Tapi di sekolah dia harus makan sendiri. Dan harus habis katanya. Tapi selama ini belum pernah liat makanan Kaka habis sih. Beberapa kali dia bawa pulang.
Oh ya, bukan anaknya doang yang belajar. Orangtua juga harus belajar. Setiap Kamis, ada semacam obrolan santai yang temanya cara mudah jadi orangtua. Konon ada belajar baca Quran juga. Tapi saya belum pernah ikut.
Soal jam belajar? Emang sih agak pagi, jam 7.15-11. Tapi fleksibel kok. Banyak ibu yang baru antar anak pas udah jam 9. Alasannya anaknya susah bangun. Dan agak lama. Durasinya bahkan lebih lama daripada anak SD negeri kelas 1-2. Dulu, keponakan saya kalau masuk jam 7, pulang jam 9. Kalau masuk jam 9, pulang jam 11.
Soal jam belajar ini ternyata memunculkan masalah lain, siapa yang antar-jemput Kaka? Kalau pagi jelas saya bisa antar. Tapi persoalannya saya belum bisa naik motor (lagi belajar sih, mati-matian harus bisa). Jadi, setiap pagi saya minta anter adik saya. Saya juga belum punya motor. Jadi, saya ini adalah pengantar yang diantar haha. Pulangnya? Beberapa kali saya yang jeput, tapi saya terpaksa dateng ke kantor sudah snagat siang. Jadi semacam shift siang. Nggak mungkin terus-terusan. Sekarang sih lagi ada ibu saya, yang semangat banget jemput Kaka. Apalagi setelah tahu bahwa setiap kamis ada obrolan santai itu, ibu saya menyebutnya pengajian, hihi.
Sekolah Itu Main
Suatu siang, ketika menjemput Kaka pulang sekolah, Bu Ika, guru di TK Fitri, menghampiri saya. "Alhamdulillah Kaka hari ini mau masuk kelas," katanya begitu bersemangat.
Ia lalu diam sejenak, mungkin menunggu reaksi saya. Saya tersenyum. "Alhamdulillah," kata saya menanggapi.
"Tapi baru masuk kelasnya pas bel pulang berbunyi," kata Bu Ika lagi.
Saya tersenyum lagi. Entah senyum apa yang harus saya keluarkan hari itu.
Kaka memang satu di antara tiga murid unik di sekolah itu. Dan, tiga murid unik itu ada di satu kelas, ya kelasnya Bu Ika itu. Uniknya seperti apa? Pertama, nggak mau masuk kelas. Jadi ketika teman-temannya di kelas, Kaka main di luar. Dan itu selalu sama dua temannya yang lain. Bu Ika menyebut mereka Three Musketeers.
Kalau nggak ada di arena bermain, Kaka ada di kelas PG. Itu kelas untuk anak yang usianya di bawah Kaka. Nah, dari hari pertama, ketika disuruh masuk kelas, Kaka masuknya ke kelas PG. Selidik punya selidik, ternyata di kelas itu ada teman mainnya di rumah. Ditambah lagi, di kelas PG itu lebih banyak mainan dan kelasnya luas banget.
Ternyata itu soal kaka yang nggak bisa diam itu bukan cuma di sekolah. Di tempat ngajinya, Kaka juga begitu. Guru ngaji, yang sering ketemu di sekolah Kaka karena kebetulan anaknya juga sekolah di situ, beberapa kali buat laporan. Ibu saya, yang suka nemenin Kaka ngaji, juga laporan begitu. Saya, yang nganter Kaka pertama kali ngaji, juga ngeliat dengan mata kepala sendiri.
Kaka memang luar biasa aktifnya. Soal dia nggak bisa diam di kelas atau duduk manis saat ngaji di masjid, saya udah prediksi. Sehari-harinya juga begitu. Bahkan ketika berdiri, tangan dan kakinya nggak pernah diam. Tapi saya sih nggak pernah maksa dia buat harus selalu di kelas atau duduk di depan guru ketika mengaji. Biar aja dia ke kelas ketika dia udah pengen ke kelas. Dan main ketika dia mau main. Karena sejak awal saya bilang ke dia, kalau masih TK, sekolah itu main.
Senin, 27 Juli 2015
Lewat Tengah Malam di Kereta Tanah Abang-Merak
Mudik ke Lampung tahun ini agak berbeda buat saya, juga keluarga kecil saya. Kalau buat saya, sebelum nikah saya rutin mudik setiap menjelang Lebaran. Biasnaya naik bus. Dan terakhir-akhir setelah lulus kuliah aja sering nebeng om. Ketika menikah, dan punya anak, saya selalu nebeng om. Naik bus buat saya terlalu repot, mesti bawa anak kecil, gendong tas besar berisi keperluan anak kecil yang segambreng, belum lagi kalau mesti pindah dari satu moda ke moda transportasi lainnya.
Tapi, seperti yang saya bilang di awal, tahun ini beda. Saya dan keluarga kecil ini mudik naik kereta, Krakatau namanya. Sebenarnya ini kereta ekonomi jarak jauh, Kediri-Merak, melalui Senen, Tanah Abang, Rangkas bitung, dan Merak. Jadwal berangkat dari merak, setiap hari jam 22.30. Ongkosnya Rp 30 ribu. Perjalanan Tanah Abang-Merak ditempuh 3 jam lebih. Tapi ketika saya naik, kereta ini agak telat. Dia baru berangkat jam 22.50. Mungkin karena padatnya perjalanan kereta Jawa karena banyak jadwal tambahan buat menampung pemudik. Dan, sampai merak jam 2.30.
Ini pengalaman pertama saya mudik naik kereta, setelah puluhan tahun tinggal di Jakarta. Buat suami dan anak saya apalagi. Rasanya? Lebih asyik. Apalagi perjalanannya malam, jadi ngerasa nggak buang-buang waktu di jalan. Terus, meski kereta ekonomi, keretanya bersih. AC-nya kerasa sejuk, mungkin karena malam juga ya. nggak tau deh kalau siang (eh tapi kalau untuk Tanah Abang-Merak adanya malam doang). Dan yang jelas areanya jauh lebih lapang dibandingin dengan bus. Jadi saya bisa leluasa selonjoran. Bangkunya, yang di-setting berhadapan dengan sebuah meja kecil di tengah-tengah, pun lebih lega.
Oh ya, satu yang jelas bikin kereta lebih unggul dibanding bus adalah colokan. Ya, di bawah meja kecil di antara bangku penumpang, ada dua colokan. Buat anak-anak zaman sekarang yang nggak bisa jauh-jauh dari colokan, bahkan rela beli kopi seharag 50 ribu cuma buat colokan doang, terang aja ini jadi nilai tambang banget.
Kenapa milih naik kereta? Sebenarnya ini nggak sengaja. Saya baru berencana mudik Kamis (1/7) atau sehari menjelang LEbaran. Karena, saya baru libur di tanggal itu. Di hari terakhir saya kerja, pulangnya agak siang. Seperti biasa, saya naik kereta. Biasanya naik dari Palmerah, transit Tn Abang, baru lanjut kerte Depok. Tapi hari itu saya langsung ke Tn Abang, kebetulan jalanan lancar. Ketika sampai di Tn Abang, saya iseng ngeliat loket tiket. Dan, di jadwal paling atas salah satu loket, ada keterangan kereta Krakatau yang berangkat setiap hari pukul 22.30. Nah, langsung saya telp pak suami, bujukin dia mudik malam itu juga. Oke, pak suami setuju.
Saya juga telp adik-adik saya yang kebetulan memang berencana puylang malam itu. Oke, satu adik setuju naik kereta. Satu lagi nggak bisa dihubungi. Saya anggap dia oke aja. Maka, saya pun cari informasi, soal harga tiket, waktu pembelian, dll. Ternyata, tiketnya tinggal 9 dan sya disaranin beli saat itu juga. Lalu saya langsung ke loket. Melihat calon penumpang lain beli tiket pakai KTP, saya bingung dong. Haduh, saya cuma pegang KTP saya sendiri. Apa kabar suami dan adik-adik saya? Apalagi si mbak yang nggak punya KTP. aih..
Percobaan pertama, saya nggak pake KTP suami, cuma KTP saya. Ditolak. Percobaan kedua, KTP suami pake fotonya aja yang dikirim barusan. Ditolak. Tapi saya bersikeras. Kan yang dibutuhin nomor KTP doang, masak ngak bisa pakai foto? Setelah berdebat, saya disaranin ke informasi. Nanya, boleh nggak foto KTP aja? Dan ternyata boleh. Balik lagi dong ke loket. Sambil antre, saya ngisi formulir pembelian untuk tiga orang, saya, suami, dan si Kaka. Oh ya, Si Kaka ini usianya udah hampir 4 tahun. dan aturannya anak usia 3 tahun ke atas harus udah beli tiket seharga orang dewasaa.
Ketika akhirnya sampai giliran saya, si mbaknya ternyata udah ganti. Et dah... dan si mbak yang ini nggak rese. Setelah saya kasih formulir pembelin, dia nggak nanya KTP lagi. Bahkan KTP saya juga nggak dilihat. Ah ternyata pelayanan KAI ini masih tergantung sama petugasnya, nggak ada standar baku. Tau begini, saya beliin sekalin adik-adik saya ituh.
Setelah tiket di tangan, saya pulang. Siap-siap dong karena memang belum ada persiapan. Berangkat ke stasiun Tanah Abang lagi sekitar jam 8 dari rumah. Naik commuterline dong. Dan seperti dugaan saya, kami kecepatan. Sampe sana baru jam 9.30. Ada waktu satu jam buat nongkrong-nongkrong nggak jelas bertigaan.
Naik kereta buat saya selalu menyenangkan. Apalagi buat Kaka. Dia punya buku tentang kereta api, dia selalu minta dibacain itu menjelang tidur. Dan begitu tahu kami mudik naik kereta, dia antusias banget. Buku itu pun wajib ditenteng haha. Sepanjang jalan pun dia nyaris nggak tidur. Bukan cuma minta dibacain buku, tapi juga nanya ini-itu tentang daerah yang dilewatin. untung aja di luar gelap. Karena nggak bisa lihat apa-apa, jadilah dia tidur.
Oh ya, ternyata seat yang katanya cuma tinggal 9 itu cuma bohong belaka. Nyatanya kereta ini banyak yang kosong. Kalau mau duduk terpisah, kami bisa tidur selonjoran di bangku-bangku yang kosong itu. Tapi ya sudahlah. Sebaiknya memang nggak tidur. Nikmati aja perjalana pertama Tanah Abang-Merak dengan Karkatau ini.

Senin, 13 Juli 2015
Gara-gara Kelenjar Infeksi
Dua minggu lalu, leher belakang si Kaka, tepatnya di bawah telinga, bengkak. Ini bikin saya panik. Jelas dong. Apalagi setelah dapat banyak informasi tentang bawah ;eher bengkak dari Internet. Oh ya, ada kebiasaan baru buat ibu muda kayak gue. Kalau anak kenapa-napa, tinggal browsing Internet aja, semua kelainan dan penyakit rasanya ada. Tapi ingat ya, ini cuma infromasi awal, akhirnya tetap juga harus ke dokter dan ke lab kalau memang dibutuhkan. Eh tapi pernah saya ke dokter, setelah browsing sana-sini, dan sedikit banyak tanya atau protes, saya dikatain dokter Internet sama si dokter.
Balik lagi ke soal bengkaknya leher Kaka dalam tulisan yang ini . Sekarang saya nggak panik lagi karena si Kaka udah dinyatakan nggak sakit lagi. Memang nggak pake tes lab sih, tapi kayaknya itu nggak perlu. dokter nggak nyaranin. Ketika Kamis atau Jumat (lupa hari tepatnya), minggu lalu ke dokter, Kaka cuma diperiksa biasa aja. Dia dibaringin di tempat tidur periksa, trus bawah rahangnya dipegang. Seperti biasa, dokter ini pelit bicara.
Ketika si dokter akhirnya selesai periksa dan balik ke mejanya, saya pun mulai gencar bertanya. dari soal bengkaknya, penyebabnya, apa tindakan selanjutnya, sampai dengan minta penegasan bahwa kesimpulan yang ada di kepala saya benar. Doker itu cuma jawab, "Kelenjar anak ibu udah nggak bengkak. berat badannya juga naik. Jadi kita lihat saja dalam tiga bulan ini apakah kelenjarnya kembali bengkak dan berat badannya turun. Kalau begitu, baru anak ibu dites darah.Bengkaknya kemarin mungkin karena amandelnya."
Oke, jadi kesimpulan saya adalah... kelenjar Kaka cuma infeksi. Dikasih antibiotik kemarin langsung kempes. Jadi kekhawatiran saya soal TBC apalagi kanker, nggak banget deh. Ya makllum aja deh, saya ibu muda yang terlalu banyak dapat informasi dari Internet. Padahal saya nggak punya background ilmu kesehatan sama sekali.
Kamis, 09 Juli 2015
Antara Mama, Ibu, Bunda, Ummi
Saya tertawa membaca status Facebook seorang teman hari ini, Kamis (9/7/2015). Soal panggilan ibu. Kata dia: sudahlah, pakai kata "ibu" saja, tak usah diganti dengan "ummi", "bunda", atau "mami". Kalau diganti, nanti kepanjangan ASI berubah menjadi ASU, ASBUN, dan ASMA. Ha-ha. Ah, ini mengingatkan saya empat tahun lalu, ketika menantikan saat-saat menjadi ibu. Oh ya, nggak perlu lah dijelasin lagi bahwa saya ibu (muda) beranak satu. Ibu muda, alias imud #eh.
Dulu, saya sempat berdebat dengan suami soal panggilan si calon bayi kepada kami. Saya sih pinginnya "ibu" dan "bapak" biar Indonesia banget. Saya nggak ngikutin panggilan "emak" atau "aba" untuk kedua orangtua saya. Bukan takut terkesan ketinggalan zaman, tapi ya biar lebih Indonesia aja dengan panggilan "ibu-bapak". Saya juga udah kenal panggilan itu sejak SD, lewat pelajaran bahasa Indonesia "Ini ibu Budi, ini bapak budi dan saudara-saudaranya, Iwan dan Wati. Dalam bahasa formal juga kita lebih sering menggunakan ibu kan daripada yang lain. Apalagi "ummi" yang jelas Arab banget. Iya iya... saya tau, banyak juga kok kata-kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab. Bahkan ada yang percaya bahwa 9 dari 10 kata dalam bahasa Indoensia adalah asing. Bukan Arab aja sih, ada Sansekerta, Jawa, Belanda, Inggris, Latin, dll. Eh kok jadi bahas ini.
Tapi ya, panggilan "ibu-bapak" itu nggak dapat restu dari suami saya. Suami saya itu juga orang Indonesia, cuma mungkin dia lebih ngerasa modern aja daripada saya (maaf ya suami, itu kesan saya lho). Dia pengen, calon anak kami itu memanggil kami dengan kata "mama" dan "papa". Mungkin itu seperti "mommy dan daddy" bagi orang Amerika. Aih... Dengan berat hati, demi menghormati suami (daripada dia milih dipanggil "om", anak gue bisa jadipertanyaan dong, bapaknya siapa?), saya akhirnya setuju. Toh panggilan itu juga paling banyak digunakan di negara saya ini. Maka ketika anak saya itu lahir, saya mulai mengajarinya memanggil kami dengan kata "mama" dan "papa". Nggak perlu waktu lama juga sih, karena ternyata kata panggilan itu termasuk kata-kata awal yang mampu diucapin bayi.
Awalnya saya nggak masalah. Saya menyebut diri saya dengan kata "mama" di depan bayi saya, dan saya menggunakan kata ganti "papa" untuk suami saya. Tapi... panggilan itu mulai menjadi masalah ketika suami saya mulai belajar manggil saya dengan sebutan "mama" juga. Kok aneh ya. Kok saya ngerasa dia manggil mamanya, meski kami sebenarnya nggak serumah dengan mertua. Iya, dia manggil ibunya juga dengan sebutan "mama". Jadi saya sering kali nggak nengok kalau dipanggil "mama".
asal tau aja, dari zaman pacaran, saya dan suami punya kebiasaan yang nggak sengaja manggil dengan sebutan "sayangku" (Ih, jangan diketawain dong). Tapi menjelang menikah saya memanggil dia "punkku" (juga jangan diketawain), meski dia tetap dengan panggilan awal.
Balik lagi ke panggilan "mama". Merasa risi dengan panggilan itu, bahwa saya bukan mama dia, akhirnya saya minta dia jangan manggil saya dengan sebutan itu. Kalau anak sih tetap ya... Cuma belakangan ini, anak saya yang usianya hampir 4 tahun itu juga ikut-ikutan manggil kami dengan sebutan masing-masing tadi, "sayangku" untuk saya dan "punkku" untuk suami saya. Saya kasih tau dong bahwa panggilan itu cuma berlaku di antara kami, bukan kita (nggak perlu dijelasin ya beda "kami" dan "kita"). Kalau dia tetap harus "mama" dan "papa". Dia nurut sih. Cuma kadang-kadang aja dia ngeledek dengan manggil saya atau suami dengan "sayangku" (yang dia lafalkan dengan "cenggu") dan "punkku". Abis itu, dia ketawa dengan ekspresi isengnya. Nggak masalah sih, asal jangan dipanggil "ummi" aja, ha-ha.
Senin, 06 Juli 2015
Bengkak di Leher Bawah Telinga Kaka
Ibu yang bekerja kayak saya mungkin sering kali luput melihat perubahan yang terjadi pada anaknya. Tapi, hal-hal yang luput itu saya hindari betul, makanya setiap pagi saya usahakan mandiin si Kaka dulu sebelum berangkat kerja. Itu biasanya saya kerjakan setelah memastikan dia beres makan. Lebai juga sih, padahal kan si Kaka bakal minta makan sendiri kalau dia lapar.
Nah, malam itu, tepatnya antara Selasa-Rabu Minggu lalu, saya agak kaget ngeliat lehet Kaka, di bawah telinganya, bengkak. Ini belum pernah saya lihat. Dia waktu itu baru pulang dari hipermarket, dibawa adik saya (agak kesal juga si Kaka di bawa tanpa sepengathuan saya). Tapi perilaku si Kaka nggak berubah, sempat sedikit hangat malam sebelumnya, dan pilek. Pengennya sih langsung bawa si Kaka ke dokter, tapi berhubung sudah malam, saya memutuskan menundanya sampai besok.
Terang ini juga mengganggu konsentrasi banget. Sementara saya browsing. Leher di bawah telinga itu adalah kelenjar getah bening. Itu bengkak bisa jadi karena infeksi kelenjar getah bening, TBC kelenjar, dan yang paling bikin gue takut adalah salah satu yang menandakan adanya kanker. Amit-amit...
Eh tapi, adik saya lalu bercerita. Anaknya yang sekarang kelas 2, naik kelas 3 SD, pernah ngalamin hal serupa. Dibawalah ke dokter, lalu disuruh tes mantuk. Hasilnya negatif. Ponakan saya itu cuma dikasih vitamin penambah stamina dan madu. Setiap hari. Dan bengkak di bawah lehernya pun hilang. Ponakan saya itu sekarang sehat wal afiat, tanpa keluhan apa pun.
Dan keesokan harinya, juga malam, sepulang kerja, saya akhirnya bawa Kaka ke dokter. Dokter di klinik baru dekat rumah, yang mungkin juga bakal jadi langganan saya. Jadi, saya ceritakanlah bagaimana saya menemukan bengkak itu. Lalu Kaka pun diperiksa, suhu badan, dilihat bengkaknya, mulut, dada, punggung, perut. Dan, si dokter ini agak pelit ngomong kalau nggak ditanya. Senyum pun nggak kalahpelitnya. Selama periksa, dia cuma mengerutkan dahi. Saya deg-degan dong, rasanya pengen segera buka otaknya dan baca isinya. Lalu, setelah bolak-balik badan si Kaka, pemeriksaan pun kelar. Nggak sabar saya tanya, "Jadi bengkaknya kenapa dok?"
Si dokter duduk di kursinya. "Ini kelenjar getah bening. Bengkaknya udah berapa lama?"
Saya tahu, itu kelenjar getah bening. "Saya sadarnya kemarin malam dok. Sebelumnya saya nggak lihat."
"Oh... kemungkinan ini infeksi kelenjar getah bening atau TBC kelenjar. Tapi, kalau baru dua hari kemungkinan besar infeksi, karena kalau TBC itu perjalanannya panjang, nggak mungkin cuma dua hari," kata dia.
Lalu saya mencoba meresapi, sambil berdoa. Semoga ini cuma infeksi. "Dia lagi pilek dok. Minggu lalu juga ke sini, demam. Kata dokter yang jaga, amandelnya radang. Ada pengaruh dari situ nggak?" kata saya.
"Iya, saya lihat dari catatannya. Tapi ini sepertinya infeksi, ada kuman masuk. Masuknya bisa dari mana aja, termasuk mulut. Jadi, saya akan kasih antibiotik dan obat batuk. Ini untuk seminggu. Begitu obatnya habis, kembali ke sini. Kalau ini infeksi, akan kempis. Tapi TBC nggak bisa kempis dengan antibiotik ini. Jadi kalau seminggu masih bengkak, sebaiknya dites mantuk," kata dia panjang lebar. mungkin ini penjelasan terpanjang dia malam itu.
"Oke dok."
Saya lalu keluar. Kaka hilir mudik nggak bisa diam seperti biasa. saya menunggu sebentar, lalu dipanggil untuk pembayaran dan pengambilan obat.
Obat itu sudah hampir seminggu diminum. Dan bengkak di leher Kaka hanya berkurang sedikit. Terang ini bikin saya gelisah. Semoga ini bukan kekhawatiran yang berlebihan dari ibu yang lebai kayak saya.
Antara Anak dan Kerjaan
Saya cinta anak saya. Saya juga suka pekerjaan saya, terutama bagian keluar Jakarta. Nggak perlu lah ya dijelasin siapa anak saya itu, dan apa pekerjaan saya. Tapi kadang-kadang ada kontradiksi di anatar dua hal ini. Misalnya, waktu saya harus ke luar kota, anak saya sakit. Terang saya nggak bisa meninggalkan anak saya dalam keadaan sakit.
Pernah juga sih itu saya lakukan. Waktu itu ada ibu saya di rumah, dan itu yang bikin saya memutuskan untuk berangkat. Dan ternyata saya nggak tenangnya minta ampun. Sepanjang masa tugas luar kota itu saya selalu deg-degan. Setiap HP bunyi, jantung saya berdebar kencang, kayak lagi nunggu telepon dari pacar. Mau makan juga nggak nafsu, kayak orang yang lagi jatuh cinta dan cukup kenyang dengan mikirin si dia.
Nah, tugas luar kota saya waktu itu ke Lamandau, sebuah kabupaten muda yang namanya cuma saya kenal dari nama sebuah jalan di daerah Kebayoran Baru. Kabupaten itu adanya di Kalimantan Tengah. Agak terpencil sih. Dan karena terpencil, sinyal HP sering kali hilang. Itu juga yang bikin saya deg-degan. Bukan karena saya orang penting yang harus selalu bisa dihubungi. Tapi kan anak saya lagi sakit. Bagaimana kalau ada hal penting yang harus segera disampaikan ke saya? Atau anak saya ini tiba-tiba pengen ngomong sama saya?
Tapi pernah juga itu saya tolak. Waktu itu tujuannya ke Teluk Wondama, Papua. Whuii... saya pengen banget ke sana, meski dulu banget udah pernah nginjak Papua. Tapi Teluk Wondama kan lain. Itu daerah keren banget. Kata orang yang pernah ke sana, itu nyaris setara dengan Raja Ampat lah, meski saya juga belum pernah ke Raja Ampat. Pasti eksotis banget. Apalagi denger perjalanannya ke sana yang mesti naik peswat kecil berkapasitas belasan orang aja. Yang katanya kalau di atas suka matiin mesin dan ngikut arah angin aja. Yang katanya ada alternatif naik kapal laut seharian. Yang katanya ongkosnya jadi mahal banget.
Pernah juga saya nolak ke NTB, yang ada kunjungan ke Lombok. Biar kata saya udah pernah nginjak ujung barat dan ujung timur Indonesia, Lombok ini belum pernah saya datangi. ini lagi-lagi karena anak saya sakit. Waktu itu kebetulan saya juga baru sehat sih. Tapi itu bukan halangan. Kalau saja anak saya sehat, pastilah saya hajar juga tuh tuga Lombok. Pengen juga dong ikut merayakan tempat yang banyak didatangin wisatawan itu. Jadi kalau lagi ngumpul sama temen-temen, dan ditanya, "Udah pernah ke Lombok?" saya bisa bilang, "Udah." Ya, soalnya temen-temen saya kan nggak mungkin nanya, "Udah pernah ke Lamandau?" "Udah pernah ke Tanjung Jabung Barat?" "Udah pernah ke Luwu Timur"
Tapi ya, yang paling fenomenal itu adalah, menolak tugas karena larang suami. Wuih... ini nih sakit banget buat saya. Ini artinya suami nggak ngehargain kerjaan saya. Kerjaan yang dari udah saya lakonin bahkan sebelum ketemu dia. Kerjaan yang saya suka ini. Kerjaan yang kalau nggak saya lakonin, saya bingung mau kerja apa lagi. Lho, kok tiba-tiba bahas ini? Ya karena ini juga suka pake alasan anak. Mungkin sih sebenernya gengsi aja, dia nggak pengen kehilangan saya meski cuma beberapa malam.
Oke, ini kayaknya perlu dibahas panjang. Sekalian curhat. Soal kerjaan dan suami. Dulu... banget, cita-cita ideal saya tentang keluarga adalah punya keluarga yang saling menghormati. Ngehormatin privasi saya, keluarga besar saya, kerjaan saya, teman-teman saya, dan semua orang yang telah berlaku baik pada saya. Saya juga pengen punya keluarga yang nggak banyak ngelarang saya melakukan sesuatu yang saya sukai, selama itu baik. Soal baik dan buruk, hei.. saya kan udah tua. saya pasti tau mana yang layak dikerjakan dan nggak. Meski pernah juga kecolongan, misalnya ninggalin anak sakit buat ke luar kota (ini pasti saya punya pertimbangan sendiri).
Lalu, saya berpikir, kalau ada suami yang melarang istrinya melakukan hal yang disukai, kasihan sekali istri itu. Bayangin ya, waktu gadis, dia dilarang melakukan banyak hal yang dia sukai sama orangtuanya. Wajar, orangtua tentu khawatir anak yang dibesarkannya kenapa-kenapa. Nah, pas udah tua, masih dilarang pula sama suami. Kapan si istri ini bisa melakukan yang dia suka tanpa larangan? Alasan si suami mungkin juga khawatir. Oke masih bisa diterima, bisa jadi dia emang cinta. Tapi... kalau ysuami ngerang karena khawatir, tapi khawatirnya bukan istri kenapa-napa, melainkan khawatir karena cemburu. Wuihhh... sakit. Artinya apa sodara-sodara? si suami nggak percaya sama istri. Kenapa juga dulu dikawinin?
Oke kembali ke anak. Jadi, sekarang ini anak saya dalam keadaan nggak sehat. eski dibilang nggak sakit juga sih. Ada infeksi di kelenjar getah beningnya. Dia harus minum antibiotik dua kali sehari, dengan ukuran yang saya percaya hanya saya yang bisa memberinya. Makanya saya harus pulang cepat terus, bukan cepat sih, tapi on time. Tinggal sehari lagi. Tapi untung saja, selama anak saya sakit, nggak ada penugasan luar kota yang psti bakal bikin saya bimbang.
Eh, kok saya ngerasa postingan ini bukan soal anak dan kerjaan ya? Tapi soal suami dan kerjaan. Tapi, soal anak dan kerjaan ini pastilah jadi dilema semua ibu, ibu yang memang menginginkan anak itu, seperti saya.
Senin, 25 Mei 2015
Huh! Tabrakan Itu Bikin Panik
Tabrakan Beruntun Terjadi di Tol Jakarta-Cikampek. Mungkin itu judul berita yang akan ada di media online, Sabtu, 16 Mei 2015 lalu. Tapi untung aja kecelakaan yang kami alami itu nggak dahsyat, jadi nggak perlu lah sampe masuk media online kayak gitu.
Hari itu, kami, saya, kaka, om, tante, adik, dan dua keponakan, berencana ke BAndung. Om dan tante mau undangan, saya sih cuma jalan-jalan. Seperti biasa, om yang nyetir. Perjalanan dimulai dengan ocehan si kaka. Anak ini banyak benar omongannya. Segala jalan ditanya. Nah, bosan nanggapin omongan si kaka, muncullah ide nelp Nad. Mobil masih di kawasan tol Jakarta Cikampek. Belum masuk Bekasi. Tut... tut... akhirnya telp diangkat, pake tab tante. Ini bukan telp biasa, tapi video call yang bikin orang diujung sana nongol secara real time. Ngobrol lah semuanya, dimulai dari pertanyaan2 ringan, di mkana, mau ke mana, dll. Sampai akhirnya si om yang lahi nyetir penasaran, ngeliat anak ceweknya yang lagi merantau jauh di Sulawesi Tenggara sana. Pertama sih aman. Tapi nggak lama kemudian... "BRARRR" mobil yang kami tumpangi seperti ngerem mendadak. Saya belum sadar sampe melihat satu ponakan, yang umurnya belum 3 tahun, diangkat. Lalu saya sadar ini tabrakan ketika ngelihat kap depan mobil yang sudah naik. Kaka dipegang tante, setelah nabrak dashboard.
Sementara si om keluar ngurusin tabrakan ini, saya merhatiin si kaka. Bibirnya pucat. tak lama kemudian, keringat dingin. Lalu ia minta tiduran di bangku tengah. Saya tany, "Pusing ka?" "Pusing..." Kaka menjawab terparah-patah. Saya diamkan sebentar. Tiba-tiba matanya terpejam. "Bangun ka... bangun..." kata saya. Karena panik, saya ngoceh sendiri. Lalu muncullah pikiran bahwa saya harus bawa kaka ke RS terdekat. Maka saya keluar, mau nyetop mobil, apa pun di depan saya. Karena belum dapat, saya masuk lagi ke mobil melihat kondisi si kaka. keringatnya bertambah banyak. bibir masih pucat. Saya keluar lagi cari mobil. Maka saya setoplah Avanza merah, dengan dua laki-laki di dalamnya. "Mas, minta tolong anter ke rumah sakit yang paling dekat," kata saya. MObil itu mendekati mobil kami, lalu si supir keluar. Badannya besar. Kulit agak gelap, dengan sedikit berewok. Ketika keluar, tangannya sibuk memasang sabuk, dan mungkin narik ritsleting celana jeans-nya. Alamak..... ngeri sekali. "Cepat bu, macet," katanya. Sambil menggendong Kaka, saya masuk ke mobil. Tapi sebelumnya saya udah pesan sama si om, catat nomor plat mobilnya.
Kami ke RS Mitra Keluarga Bekasi. Langsung ke IGD. Seingat saya, si supir mobil itu ikut turun dan mengikuti saya dari belakang. Tapi ketika di dalam IGD, say atak melihatnya. Maka saya segera keluar, dan melihat mobilnya di kejauhan. Astaga... jadi saya tadi sempat curiga sama orang yang niat baik nolong. Maafkeun... Belum sempat bilang terima kasih pula.
Kaka diperiksa oleh dr Yuliana, dokter jaga yang sedang kedatangan banyak pasien IGD. Tak lama Kaka diperiksa, kesimpulannya Kaka nggak apa-apa. Tapi kalau saya nggak yakin, saya boleh CT scan kepala Kaka saat itu jg. Tapi si dr menyarankan observasi dulu dua hari di rumah. Kalau muntah banyak dan kesadaran menurun yang ditandai dengan tidur terus, Kaka harus dibawa ke rumah sakit lagi. Syukur, itu nggak terjadi. Dan Kaka normal lagi. Dia sempat mabuk kendaraan di taksi dari Bekasi ke Depok, tapi sepertinya itu masuk angin. Sampai di rumah, ketika makan, lagi-lagi dia muntah. Tapi itu nggak berlanjut, setelah dia tidur, kondisinya kembali normal. Normalnya kaka adalah, loncat-loncat di kasur, lari sana lari sini, ngoceh, iseng, dan banyak lagi.
Mungkin saya waktu itu cuma panik. Apalagi kalau ingat cerita anak tetangga di Lampung yang keserempet motor, kondisinya biasa aja dan tak ada lecet apalagi luka, tapi tiba-tiba besoknya koma. keluar darah dari hidung dan telinga. Lalu meninggal dalam beberapa jam. Tentu saya sangat tidak berharap kejadian itu menimpa Kaka.
Senin, 02 Maret 2015
Dipanggil Tante oleh Mahasiswa Semester Dua
Sebelum saya cerita panjang, saya mau menggambarkan sedikit tentang para penghuni kompleks saya. Kompleks ini usianya lumayan tua. Para penghuninya seangkatan tante saya yang anaknya udah pada kerja. Saya termasuk penghuni baru tapi lama. Kenapa? Dulu, masa SMP dan SMA saya dihabiskan di sini. Lalu kuliah keluar, dan kembali lagi ke sini, menempati rumah dari tangan kedua, yang pemilik sebelumnya juga sudah cukup berusia. Maka, saya sekarang termasuk penghuni baru dari kelas termuda.
Saya punya tetangga, pasangan beranak satu. Usianya lumayan jauh dari saya. Anaknya itu sudah mahasiswa, semester dua di ITB. Sesekali saya datang ke rumahnya, ngobrol. Atau berbagi pengetahuan tentang rajutan. Kadang-kadang anaknya nimbrung. Kalau dia cerita dan ingin menyebut saya sebagai orang kedua tunggal, dia nggak pake kata "kamu", apalagi "elo", mungkin menurutnya terlalu kurang ajar. Bisa saja dia bingung mau manggil saya apa, tapi akhirnya dia memilih "tante", seperti ia memanggil teman-teman ibunya.
Aih... saya dipanggil "tante" oleh mahasiswa semester dua. Tua sekali. Saya jadi berpikir, "Jangan-jangan sebenarnya saya memang sudah tua, tapi nggak mau terima." Lalu saya menghitung usia. "Ah, saya masih muda, cuma tampang saya aja yang tua, setua ibunya." Nnggak juga sih sebenarnya. Lalu saya bercermin secepatnya. Ah masih muda. Buktinya, belum banyak kerutan di muka, cuma ada satu... dua... tiga... empat... lima... Eh... banyak ternyata! Ah, tapi tenang, cermin kan suka berdusta. Sungguh, sebenarnya saya masih muda.
Amang Sakit
Tersedu-sedu, laki-laki di seberang sana berbicara, "Saya sakit... Stroke...."
"Hah? Stroke?" Saya mengulang kata terakhirnya dengan nada bertanya, suara lebih keras dari biasanya.
Saya kaget, jelas. Saya langsung teringat Aba yang belum genap setahun lalu meninggal dunia karena stroke. Tak lama sakitnya, hanya tiga hari saja di rumah sakit. Saya sempat bertemu dengan Aba di hari terakhir hidupnya. Dengan napas tersengal-sengal dan sebuah alat bantu napas, mata tertutup, dan tubuh lemasnya terbaring di tempat tidur. Sedih tiada terkira saya melihatnya.
Tapi, ini bukan cerita tentang Abba. Di seberang sana, Amang (mamang, om, paman), yang menelepon saya tadi, Minggu (7/9/2014) pagi, juga mengalami sakit yang sama. Amang kena stroke ringan. Kakinya lemas. Masih bisa berdiri dan berjalan berpegangan, hanya seperti orang mabuk yang rasanya hendak terjatuh selalu.
Dan yang membuat saya ingin menangis adalah, Amang tak punya tempat untuk pulang. Mungkin itu yang membuatnya sempat memutuskan untuk pulang ke Sulawesi, ke rumah adiknya, satu-satunya saudaranya yang masih bernapas. Di sana, katanya, Amang akan berobat tradisional. Seorang keponakannya, sepupu yang tidak pernah saya kenal sebelumnya, akan menjemputnya dari Surabaya. Dari Surabaya, Amang akan terbang ke Sulawesi.
Tapi, memabayangkan bagaimana Amang akan diobati di sana, saya tidak tega. Apalagi mendengar bahwa di sana agak terisolasi. Lebih terisolasi daripada kampung nenek di Lampung. Maka, saya membujuknya agar mau berobat di Jakarta. Berobat dokter. Saya yakin, kemungkinan sembuhnya masih sangat besar.
Amang akhirnya mau. Sempat bertanya, "Ke mana saya nanti? Ke Depok?" Ya, Mang. Tentu ke Depok. Saya akan mengantar Amang ke dokter. Saya tahu, Amang tak punya tempat pulang. Buat Amang, pulang itu ke Sulawesi. Saya belum pernah ke sana, jadi saya tak bisa menilai bagaimana Amang bisa merasa nyaman di sana.
Amang sebenarnya punya keluarga. Seorang istri dan dua anak. Istrinya di Indramayu. Anak pertama baru bekerja di daerah Sunter, anak kedua entahlah. Mungkin di Indramayu juga. Saya menilai, Amang tak dekat dengan keluarga. Mungkin karena hampir seluruh hidupnya dihabiskan di laut. Jarang pulang. Entahlah.
Tapi, Amang cukup dekat dengan keluarga dari ibu saya. Dulu, Amang tinggal bersama kami, sewaktu saya masih balita. Saya tak terlalu banyak kenangan dengan Amang. Tapi Amang ini mengingatkan saya pada Abba. Dan Amang cukup peduli pada Abba.
Dan selama di Depok, anaknya yang laki-laki merawatnya. Toris namanya. Akhirnya saya mengenal anak itu. Anak yang diminta datang dari Indramayu. Sebulan Amang di Depok. Lalu ia terbang ke Sulawesi, bersama anaknya itu. Sebulan ini memang tak banyak perubahan. Dokter bilang, butuh waktu. Apalagi penanganan darurat ketika pertama kali serangan stroke itu datang, tidak benar. Harusnya Amang dirawat, katanya. Ah tapi ya sudahlah. akhirnya Amang ke Sulawesi. Dan kabar terakhirnya, sudah bisa berjalan. meski pakai tongkat. Tangannya yang kiri belum berfungsi normal, tetapi sudahbisa digerakkan. Setidaknya, Amang sudah tak lagi tergantung pada orang untuk melakukan hal-hal yang sifatnya pribadi.
Kaka Mau Sekolah
Usia berapa seorang anak sebaiknya mulai sekolah? Jawabannya bakal beragam banget. Tapi gue milih daftarin Kaka sekolah, ya sekarang-sekarang ini, menjelang 4 tahun. Gue juga bingung si Kaka bakal masuk kelas yang mana. mau kelompok bermain yang 3 tahun, usianya udah lewat. Mau TK yang usianya 4 tahun, belum cukup.
Agustus nanti, Kaka 4 tahun. Sementara sekolah dimulai Juli. Artinya, usia Kaka kurang sebulan buat masuk TK. Tapi ya sudahlah, terserah nanti hasil observasi sekolah yang menentukan. Dua minggu ini, gue udah mulai sibuk sama persiapan Kaka sekolah. Pertama, tentu aja nyari sekolah, mulai dari 14 Feb 15 lalu. Sebenarnya ini bukan kerjaan yang susah-susah amat, tapi entah kenapa males banget survei langsung ke sekolahnya. Ada beberapa sekolah yang saya incar, tentu aja semuanya deket rumah.
Pertama, Semut-Semut yang ada di Kompleks Perindustrian, Jl. Industri Kapal Dalam,RTM, Kelapa Dua, Depok. Dulu ada anak tetangga yang sekolah di situ. Anak dosen saya juga. Ini sekolah alam berbasis Islam. Tempatnya asri banget. Selain kelompok bermain dan TK, ada SD-nya juga. Konon pendafatarannya mahal, tapi setelah mengunjungi websitenya ternyata nggak jauh beda sama yang lain. Pendafatran Rp 8,25 juta, uang bulanan Rp 550 rb, dan seragam 350 ribu. Menjelang naik ke TK B nanti, akan ada uang kegiatan setahun Rp 1,6 juta. Oh ya, formulirnya Rp 300 ribu.
Kedua, TKIT Fitri yang juga ada di jalan yang sama dengan Semut-semut. Dari namanya aja ketahuan ya ini sekolah Islam. Tetangga ada yang nnyekolahin anaknya di situ, katanya bagus. Tapi bagus itu relatif sih kalo buat anak TK. Kalau menurut tetangga saya itu sih, anaknya hapal banyak doa dan surat-surat pendek. Saya sempet datang ke sekolah ini dan ketemu sama kepala sekolahnya. Dia ceritalah visi misi sekolah ini, berikut aktivitas anak di sini. Dari situ, saya jadi nyadar, sekolah ini mirip Nurul Fikri ya? Cuma biayanya jauh lebih murah, pendaftaran tahun ini aja sekitar Rp 7.650.000, formulir Rp 175 ribu, uang bulanan Rp 575 ribu. Dan kalau mau naik ke TK B, daftar ulang buat biaya kegiatan selama tahun berikutnya sekitar 2,6.
Ketiga Khonsa, di Jl. Pondok Duta Raya. Saya pengen masukin si Kaka ke sekolah ini dari umur 1,5 tahun, sekalian daycare-nya. Waktu itu biayanya masih Rp 3,75 juta. Nah, sekarang udah naik jauh banget. Pendaftaran Rp 7,9 juta, bulanannya gue lupa. Sekolah ini gampang banget ditemukan karena pas di pinggir jalan. Tulisan nama sekolahnya besar dengan huruf dan gambar yang menarik. Ini juga sekolah berbasis Islam. Sempet juga sih pengen masukin Kaka ke sini biar sekalian ikut day care. Tapi kepikiran lagi, ntar sorenya siapa yang jemput? Emang gue bisa? Emang papanya bisa? Belum tentu kan. Akhirnya ya sudah, sekolah ini dicoret.
Tau yang mana akhirnya saya pilih? TK Fitri. Selain ada anak tetangga, sekolah itu juga yang direkomendasiin tante. Dari Kaka kecil banget, tante udah ceriita tentang sekolah ini terus. Rupanya, sekolah ini udah dikenal sejak dahulu kala di kalangan ibu-ibu masjid di kompleks gue. Anaknya bu itu dulu di sana, sekarang udah kuliah. anaknya bu anu juga di sana, sekarang udah punya anak. Buset... Eh yang busetnya lagi... gue udah punya anak yang mau sekolah. Artinya... Buset, gue udah tambah dewasa, kalau nggak mau dikatakan tua.
Langganan:
Postingan (Atom)