Senin, 02 Maret 2015
Amang Sakit
Tersedu-sedu, laki-laki di seberang sana berbicara, "Saya sakit... Stroke...."
"Hah? Stroke?" Saya mengulang kata terakhirnya dengan nada bertanya, suara lebih keras dari biasanya.
Saya kaget, jelas. Saya langsung teringat Aba yang belum genap setahun lalu meninggal dunia karena stroke. Tak lama sakitnya, hanya tiga hari saja di rumah sakit. Saya sempat bertemu dengan Aba di hari terakhir hidupnya. Dengan napas tersengal-sengal dan sebuah alat bantu napas, mata tertutup, dan tubuh lemasnya terbaring di tempat tidur. Sedih tiada terkira saya melihatnya.
Tapi, ini bukan cerita tentang Abba. Di seberang sana, Amang (mamang, om, paman), yang menelepon saya tadi, Minggu (7/9/2014) pagi, juga mengalami sakit yang sama. Amang kena stroke ringan. Kakinya lemas. Masih bisa berdiri dan berjalan berpegangan, hanya seperti orang mabuk yang rasanya hendak terjatuh selalu.
Dan yang membuat saya ingin menangis adalah, Amang tak punya tempat untuk pulang. Mungkin itu yang membuatnya sempat memutuskan untuk pulang ke Sulawesi, ke rumah adiknya, satu-satunya saudaranya yang masih bernapas. Di sana, katanya, Amang akan berobat tradisional. Seorang keponakannya, sepupu yang tidak pernah saya kenal sebelumnya, akan menjemputnya dari Surabaya. Dari Surabaya, Amang akan terbang ke Sulawesi.
Tapi, memabayangkan bagaimana Amang akan diobati di sana, saya tidak tega. Apalagi mendengar bahwa di sana agak terisolasi. Lebih terisolasi daripada kampung nenek di Lampung. Maka, saya membujuknya agar mau berobat di Jakarta. Berobat dokter. Saya yakin, kemungkinan sembuhnya masih sangat besar.
Amang akhirnya mau. Sempat bertanya, "Ke mana saya nanti? Ke Depok?" Ya, Mang. Tentu ke Depok. Saya akan mengantar Amang ke dokter. Saya tahu, Amang tak punya tempat pulang. Buat Amang, pulang itu ke Sulawesi. Saya belum pernah ke sana, jadi saya tak bisa menilai bagaimana Amang bisa merasa nyaman di sana.
Amang sebenarnya punya keluarga. Seorang istri dan dua anak. Istrinya di Indramayu. Anak pertama baru bekerja di daerah Sunter, anak kedua entahlah. Mungkin di Indramayu juga. Saya menilai, Amang tak dekat dengan keluarga. Mungkin karena hampir seluruh hidupnya dihabiskan di laut. Jarang pulang. Entahlah.
Tapi, Amang cukup dekat dengan keluarga dari ibu saya. Dulu, Amang tinggal bersama kami, sewaktu saya masih balita. Saya tak terlalu banyak kenangan dengan Amang. Tapi Amang ini mengingatkan saya pada Abba. Dan Amang cukup peduli pada Abba.
Dan selama di Depok, anaknya yang laki-laki merawatnya. Toris namanya. Akhirnya saya mengenal anak itu. Anak yang diminta datang dari Indramayu. Sebulan Amang di Depok. Lalu ia terbang ke Sulawesi, bersama anaknya itu. Sebulan ini memang tak banyak perubahan. Dokter bilang, butuh waktu. Apalagi penanganan darurat ketika pertama kali serangan stroke itu datang, tidak benar. Harusnya Amang dirawat, katanya. Ah tapi ya sudahlah. akhirnya Amang ke Sulawesi. Dan kabar terakhirnya, sudah bisa berjalan. meski pakai tongkat. Tangannya yang kiri belum berfungsi normal, tetapi sudahbisa digerakkan. Setidaknya, Amang sudah tak lagi tergantung pada orang untuk melakukan hal-hal yang sifatnya pribadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar