Senin, 06 Juli 2015
Antara Anak dan Kerjaan
Saya cinta anak saya. Saya juga suka pekerjaan saya, terutama bagian keluar Jakarta. Nggak perlu lah ya dijelasin siapa anak saya itu, dan apa pekerjaan saya. Tapi kadang-kadang ada kontradiksi di anatar dua hal ini. Misalnya, waktu saya harus ke luar kota, anak saya sakit. Terang saya nggak bisa meninggalkan anak saya dalam keadaan sakit.
Pernah juga sih itu saya lakukan. Waktu itu ada ibu saya di rumah, dan itu yang bikin saya memutuskan untuk berangkat. Dan ternyata saya nggak tenangnya minta ampun. Sepanjang masa tugas luar kota itu saya selalu deg-degan. Setiap HP bunyi, jantung saya berdebar kencang, kayak lagi nunggu telepon dari pacar. Mau makan juga nggak nafsu, kayak orang yang lagi jatuh cinta dan cukup kenyang dengan mikirin si dia.
Nah, tugas luar kota saya waktu itu ke Lamandau, sebuah kabupaten muda yang namanya cuma saya kenal dari nama sebuah jalan di daerah Kebayoran Baru. Kabupaten itu adanya di Kalimantan Tengah. Agak terpencil sih. Dan karena terpencil, sinyal HP sering kali hilang. Itu juga yang bikin saya deg-degan. Bukan karena saya orang penting yang harus selalu bisa dihubungi. Tapi kan anak saya lagi sakit. Bagaimana kalau ada hal penting yang harus segera disampaikan ke saya? Atau anak saya ini tiba-tiba pengen ngomong sama saya?
Tapi pernah juga itu saya tolak. Waktu itu tujuannya ke Teluk Wondama, Papua. Whuii... saya pengen banget ke sana, meski dulu banget udah pernah nginjak Papua. Tapi Teluk Wondama kan lain. Itu daerah keren banget. Kata orang yang pernah ke sana, itu nyaris setara dengan Raja Ampat lah, meski saya juga belum pernah ke Raja Ampat. Pasti eksotis banget. Apalagi denger perjalanannya ke sana yang mesti naik peswat kecil berkapasitas belasan orang aja. Yang katanya kalau di atas suka matiin mesin dan ngikut arah angin aja. Yang katanya ada alternatif naik kapal laut seharian. Yang katanya ongkosnya jadi mahal banget.
Pernah juga saya nolak ke NTB, yang ada kunjungan ke Lombok. Biar kata saya udah pernah nginjak ujung barat dan ujung timur Indonesia, Lombok ini belum pernah saya datangi. ini lagi-lagi karena anak saya sakit. Waktu itu kebetulan saya juga baru sehat sih. Tapi itu bukan halangan. Kalau saja anak saya sehat, pastilah saya hajar juga tuh tuga Lombok. Pengen juga dong ikut merayakan tempat yang banyak didatangin wisatawan itu. Jadi kalau lagi ngumpul sama temen-temen, dan ditanya, "Udah pernah ke Lombok?" saya bisa bilang, "Udah." Ya, soalnya temen-temen saya kan nggak mungkin nanya, "Udah pernah ke Lamandau?" "Udah pernah ke Tanjung Jabung Barat?" "Udah pernah ke Luwu Timur"
Tapi ya, yang paling fenomenal itu adalah, menolak tugas karena larang suami. Wuih... ini nih sakit banget buat saya. Ini artinya suami nggak ngehargain kerjaan saya. Kerjaan yang dari udah saya lakonin bahkan sebelum ketemu dia. Kerjaan yang saya suka ini. Kerjaan yang kalau nggak saya lakonin, saya bingung mau kerja apa lagi. Lho, kok tiba-tiba bahas ini? Ya karena ini juga suka pake alasan anak. Mungkin sih sebenernya gengsi aja, dia nggak pengen kehilangan saya meski cuma beberapa malam.
Oke, ini kayaknya perlu dibahas panjang. Sekalian curhat. Soal kerjaan dan suami. Dulu... banget, cita-cita ideal saya tentang keluarga adalah punya keluarga yang saling menghormati. Ngehormatin privasi saya, keluarga besar saya, kerjaan saya, teman-teman saya, dan semua orang yang telah berlaku baik pada saya. Saya juga pengen punya keluarga yang nggak banyak ngelarang saya melakukan sesuatu yang saya sukai, selama itu baik. Soal baik dan buruk, hei.. saya kan udah tua. saya pasti tau mana yang layak dikerjakan dan nggak. Meski pernah juga kecolongan, misalnya ninggalin anak sakit buat ke luar kota (ini pasti saya punya pertimbangan sendiri).
Lalu, saya berpikir, kalau ada suami yang melarang istrinya melakukan hal yang disukai, kasihan sekali istri itu. Bayangin ya, waktu gadis, dia dilarang melakukan banyak hal yang dia sukai sama orangtuanya. Wajar, orangtua tentu khawatir anak yang dibesarkannya kenapa-kenapa. Nah, pas udah tua, masih dilarang pula sama suami. Kapan si istri ini bisa melakukan yang dia suka tanpa larangan? Alasan si suami mungkin juga khawatir. Oke masih bisa diterima, bisa jadi dia emang cinta. Tapi... kalau ysuami ngerang karena khawatir, tapi khawatirnya bukan istri kenapa-napa, melainkan khawatir karena cemburu. Wuihhh... sakit. Artinya apa sodara-sodara? si suami nggak percaya sama istri. Kenapa juga dulu dikawinin?
Oke kembali ke anak. Jadi, sekarang ini anak saya dalam keadaan nggak sehat. eski dibilang nggak sakit juga sih. Ada infeksi di kelenjar getah beningnya. Dia harus minum antibiotik dua kali sehari, dengan ukuran yang saya percaya hanya saya yang bisa memberinya. Makanya saya harus pulang cepat terus, bukan cepat sih, tapi on time. Tinggal sehari lagi. Tapi untung saja, selama anak saya sakit, nggak ada penugasan luar kota yang psti bakal bikin saya bimbang.
Eh, kok saya ngerasa postingan ini bukan soal anak dan kerjaan ya? Tapi soal suami dan kerjaan. Tapi, soal anak dan kerjaan ini pastilah jadi dilema semua ibu, ibu yang memang menginginkan anak itu, seperti saya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar