Senin, 18 April 2016

Jauh Kepala dari Panggul

Siapa bilang kepala itu letaknya dekat panggul? Anak kecil juga tau kepala itu jauh dari panggul. Jauh banget malah, satu di atas, satu di tengah, mesti ngelewatin leher, pundak, dada, dan perut dulu. Tapi kalo kepala yang ini mesti deket dengan panggul: kepala dedek bayi. Iya, di usai kandungan saya yang masuk 38 minggu ini, mestinya kepala janin udah masuk panggul. Tapi hasil periksa terakhir di HGA, Sabtu, 16 April, kemarin, boro-boro masuk panggul. "Ini panggul... ini kepalanya. Ini masih jauh dari lubang panggul," kata dr Iwan Herryawan, SpOG, sambil gerak-gerakin mouse alat usg.

Ini artinya apa? Saya harus kembali melahirkan secara sesar. Dr Iwan lalu menganalisis sejarah persalinan pertama saya yang juga sesar. Dia sudah menduga bahwa tulang panggul saya sempit. Itu diperjelas dari cerita saya bahwa ketika melahirkan, meski sudah belasan jam pembukaan, di dedek (Kaka maksudnya) nggak mau juga turun.

Kali ini, ada tambahan lilitan tali pusar satu kali. Sebenarnya sih lilitan nggak terlalu bahaya juga buat orang yang mau melahirkan secara normal. Apalagi cuma satu kali. Kata adik sepupu saya yang dokter itu, banyak kok kasus melahirkan normal dengan satu lilitan. Ketika kepala si bayi muncul dari jalannya, tenaga medis, bidan atau dokter, langsung membebaskan leher si bayi dari lilitan meski badannya belum keluar semua.

"Oke, kita jadwalin aja ya. Tanggal 21 April, Kamis," katanya. Tanggalnya bagus sih, pas Hari Kartini. Tapi kan....
"Wah, saya nggak bisa tanggal segitu, dok. Ada acara kawinan adik tanggal 24 April."
"Wah, 24 April. Oke, kita jadwalin sesudahnya, tanggal 25 April ya, Senin," kata si dokter, pake logat Sunda.
"Oke dok."
"Mudah-mudahan nggak mules ya pas di acara kawinan. Kalo mules duluan, repot ini...." katanya sambil senyum.
Lalu si dokter mengambil ponselnya, mencatat di agenda bahwa hari itu harus menolong saya bersalin.

Dr Iwan ini adalah dokter second opinion gue, alias dokter gue yang kedua. Konsul ke dokter ini baru dua kali sih sama kemarin, cuma pengen tau aja, apakah pendapat dia dengan dokter pertama saya, dr Samson, sama.

Sekadar kilas balik ke belakang, sebulan lalu. Dr Samson, yang juga udah tau riwayat persalinan saya, sempat menyarankan sesar. "Kalau mau sesar, empat minggu lagi sudah bisa," katanya. Waktu itu sekitar 18-19 Maret. Artinya, harusnya sekarang udah melahirkan.

Tapi gue buru-buru berkomentar. "Emang saya nggak bisa melahirkan normal, ya, dok?"

Di dokter senyum. "Mau coba normal? Oke ya, kita coba."

Nah, si dokter kayaknya nggak yakin, tapi masih mau menuhin permintaan gue. Ketika terakhir konsul sama dr Samson, minggu lalu, gue sempet nanya, orang kecil kayak gue, tulang panggulnya selalu sempit nggak?

Si dokter Samson cuma senyum. "Kenapa? Mulai ragu sama persalinan normal?"

Ya sih. Keraguan ini muncul setelah ketemu sama dr Junita di RSCM Kencana. Dia langsung nebak bahwa persalinan anak pertama saya sesar. Lalu nanya tinggi badan saya, yang malu-malu akhirnya saya sebut juga. "Emang kenapa do? Karena orang kecil kayak saya biasanya panggulnya sempit, ya?" Dia mengiyakan, sambil senyum. Ahai... ini kode?

Tapi soal kepala jauh dari panggul ini, gue masih mau usaha. Senam, nungging, dan banyak jalan mungkin bisa jadi mak comblang yang mendekatkan kedua organ dari dua makhluk yang berbeda ini. Dua hari ini gue udah mulai nungging, yang kalau di senam hamil disebutnya gerakan antisungsang. Kalau jalan, tiap hari juga gue banyak jalan. Cuma kalau maul ebih banyak jalan lagi, mungkin mal adalah jawabannya heueheue...

Dan jangan lupa... banyak-banyakin berdoa, dan minta didoain sama orang tua.



Jumat, 15 April 2016

Kontrol ke Dokter Kandungan Pakai BPJS Kesehatan

Dua pekan lalu, saya akhirnya memanfaatkan fasilitas kontrol ke dokter kandungan BPJS Kesehatan. Saya pilih RS Hasanah Graha Afiah yang lebih dikenal inisialnya, HGA. Saya pilih RS ini atas rekomendasi teman yang sekitar empat bulan lalu melahirkan di sana dengan fasilitas ini juga. Lagi pula, anak pertama saya juag dilahirkan di situ. Jadi meski agak jauh dari rumah, saya merasa lebih nyaman aja.

Jalan menuju HGA dengan BPJS ini agak lumayan panjang. Saya ngikutin prosedur, ke klinik faskes tingkat pertama, yaitu Azzahra yang di RTM itu, untuk minta rujukan. Persoalannya adalah, saya belum pernah pakai kartu BPJS saya, jadi saya nggak bisa minta diagnosis dari bidan jejaring klinik itu. Pernah sih saya coba, tapi saya ditolak sama bidan Dian Sokib. Alasannya karena saya nggak periksa dari awal. Padahal sih ya, kalau bidannya itu emang bidan baik-baik, dia nggak boleh nolak. Eh, ini si bidan malah curhat, nggak dibayarlah, kalaupun dibayar kecil bangetlah... halah....

Akhirnya saya periksa di bidan puskesmas di Depok II untuk minta rujukan ke dokter. Saya sih yakin aja bakal dapet karena sejarah melahirkan pertama sesar. Kata si bidan, pasien BPJS bisa dirujuk ke rumah sakit di usia kandungan 35 minggu. Apalagi kalau si pasien itu pernah sesar. Lancarlah jalannya. Eh tapi nggak selancar itu juga. Ternyata bidan di puskesmas ini cuma bisa ngasih diagnosis bahwa saya ada indikasi melahirkan sesar lagi. Dia nggak bisa ngasih rujukan karena puskes itu bukan faskes tingkat pertama saya. Meski udah dapat diagnosis, saya tetap harus ke Azzahra untuk minta rujukan.

Maka, bermodal selembar kertas itu, datanglah saya ke Azzahra. Setelah nyerahin diagnosisnya, kartu saya diperiksa, aktif atau tidak. Lalu, ditanya, mau ke rumah sakit mana. Meski udah ada diagnosis dari bidan, saya tetap diperiksa dokter umum yang praktek di sana. Nggak dipetiksa sih, cuma ditanya-tanya, kenapa saya sesar dll.

Dari klinik itu, saya ke HGA. Di RS ini, nggak semua dokter kandungan melayani BPJS. Ada beberapa dokter yang membatasi pasien BPJS-nya, misalnya 5 pasien aja per hari. Saya pun nggak bisa milih dokter. Ketika saya nelp untuk daftar, saya disaranin ke dr Rizal Gani karena pasien BPJS-nya nggak dibatasi. Sayangnya, di RS ini pasien BPJS nggak bisa daftar lewat telp, harus datang langsung. Saya disaranin datang jam 5 karena di sokter mulai praktik jam 6 sore.

Dari kantor, saya pun melaju dengan kereta ke Depok Lama. Dari situ naik ojek ke HGA. Tepat jam lima sampai di sana, langsung mendaftar. Nggak susah, di resepsionis ada pelayanan khusus untuk pasien BPJS. dari situ, saya disuruh ke meja pelayanan BPJS untuk daftar ke dokternya. Hari itu, Kamis, ada tiga SpOG yang praktik, dr Rizal, dr Iwan, dan dr Dewi. Dr Dewi ini nggak terima pasien BPJS. Dr Iwan pasien BPJS-nya dibatasi hanya 4. Dan saya pun mendaftar ke dr Rizal. Modalnya, fotokopi kartu BPJS dan surat rujukan dari faskes tingkat pertama, juga KTP. Setelah selesai proses pendaftaran, saya disuruh nunggu.

Setelah nunggu, saya dapat kabar buruk. si dokter nggak bisa praktik karena ada tindakan. Saya dikasih pilihan ke hari lain, tapi saya tolak. Saya minta ganti dokter aja kalau bisa. Dan ketidakhadiran dr Rizal ini mengantarkan saya ke dr Iwan Heryawan, SpOG. Ternyata masih ada slot satu pasien BPJS lagi yang kosong. Huhuhuu.. rezeki mama soleh.

Dr Iwan ini nggak begitu asing buat saya. Saya memang belum pernah jadi pasien dia, tapi dulu, waktu melahirkan Kaka, ada teman seperjuangan yang ditangani dia. Jadi meski nggak kenal, saya ngerasa kenal aja. Dokter ini udah agak senior, perawakannya kurus tinggi, rambut sebagian abu-abu, dan ramah. Hal yang bikin saya inget adalah, dia nanya, "Dulu kamu ditangani dr Maman ya?" Agak kaget juga sih, soalnya di pendaftaran, pas ditanya, saya bilang belum pernah jadi pasien di sini haha. Tapi data nggak bisa bohong ya.

Dokter ini cukup baik ngejelasinnya. Ketika periksa kandungan saya melalui usg, dia juga ngejelasin. Bahwa anaknya perempuan, sehat, beratnya 2,7 kg. Ha? 2,7? beda sungguh sama dr Samson yang seminggu kemudian mengatakan beratnya baru 2,3 kg. Tapi ya sudahlah. Yang bikin saya kaget juga, HPL saya jadi maju. Kalau di dr Samson dibilang 2/3 Mei, di sini dibilang 27 April. Nah lho.... Tapi yang jadi fokus saya adalah, saya bisa melahirkan normal nggak? "Kita lihat dua minggu lagi, ya" kata si dokter. Di akhir pertemuan ini, dia kasih selembar kertas yang bisa jd paspor untuk pemeriksaan berikutnya. Saya nggak dikasih vitamin, USG juga nggak dicetak. Harusnya sih, kemarin atau hari ini saya kembali kontrol. Tapi perjuangan untuk ketemu dr Iwan ini agak susah ya. Saya mesti datang langsung ke HGA untuk daftar, dan saya mesti bersaing dengan pasien BPJS lain untuk mengisi 4-5 jatah pasien setiap harinya.




Bayi Sesak karena Minum Ketuban

Ini kisah sedih bump buddy saya, sebut saja namanya Mei. Sabtu, 9 April 2016 lalu, dia akhirnya melahirkan bayinya di RS Sentra Medika Depok melalui jalan tol alias sectio caesaria atau sesar. Sebenarnya dia pengen banget lahiran normal, makanya dia rajin senam di Mitra Keluarga. Saya pun jadi ikut-ikutan senam, padahal saya sendiri agak pesimis bisa melahirkan secara normal mengingat postur tubuh yang mungil sangat, juga sejarah melahirkan anak pertama yang juga sesar. Kembali ke Mei, apa daya, dokter akhirnya menyarankan Mei untuk sesar, dan ternyata itu pilihan yang terbaik.

Kenapa saya bilang terbaik? Kehamilan Mei waktu itu sudah masuk 40 minggu. HPL-nya waktu itu sekitar awal April, tapi bisa menunggu sampai 13 April kalau mau melahirkan normal. Tapi sampai saat itu, belum ada tanda-tanda akan segera melahirkan. Kontraksi nggak ada, bahkan yang palsu pun enggan datang. Padahal, pemeriksaan terakhir seminggu sebelumnya, kondisi ibu dan bayi siap untuk partus normal. Bayi sehat, sudah masuk ke panggul, dengan berat 2,7 kg. Nggak besar, tapi itu lebih dari cukup untuk lahir. Kondisi kesehatan ibunya juga baik, nggak menderita darah tinggi, asma, atau penyakit lain yang menjadi risiko sesar.

Tapi, seminggu sebelum melahirkan, dia memang mengeluh, celana dalamnya selalu basah. Seperti pipis, tapi bukan pipis. Keputihan pun bukan karena tidak kental atau berlendir. Dalam sebulan ini, berat badan dia dan bayinya pun nyaris tidak naik. Nah, ketika tiba jadwal kontrol mingguan, Jumat, 8 April, dokternya kaget ketika di usg, terlihat air ketubannya tinggal sedikit. Nah lho... Akhirnya dokter menyarankan agar bayinya segera dilahirkan, bagaimanapun caranya. Malam itu juga, atau besok malam. Tak lagi bisa menunggu sampai Senin.

Ada dua opsi melahirkan yang bisa ditempuh, induksi atau sesar. Karena induksi risiko gagalnya masih besar, maka sesar pun dipilih. Waktunya dalah besok malam.

Tibalah hari yang dinanti. Ditemani ibu dan dua adiknya yang laki-laki, berangkatlah Mei ke RS. Dia dapat jadwal jam 10 malam. Sampai jam segitu, dia terus mengabari lewat WA. Tengah malam, dia pun mengabari bahwa operasinya lancar. "Tapi bayinya kecil mbak, cuma 2,3 kg. Terus pas baru lahir dia sesak. Makanya sekarang masuk NICU," begitu kira-kira kalimatnya. Agak heran juga sih, kok bayi 2,7 kg bisa keluar 2,3 kg. Itu artinya beratnya di bawah standar 2,5 kg. Salahnya di mana? Masak iya bayinya diet di dalam sana.

Sebenarnya bukan karena bayinya kecil maka dia harus dirawat di NICU. Anak adik saya pun kecil, bahkan yang pertama cuma 2 kg. Tapi karena sehat, nggak sampai harus di NICU. Nah, bayi bump buddy saya ini ternyata punya masalah lain. Sesak napas ini dicurigai karena ia minum air ketuban sehingga paru-parunya terinfeksi. Inilah yang patut diwaspadai, mengingat air ketubah yang sudah kering dan berwarna pekat. Karena kecurigaan itu si bayi harus tetap di NICU, bahkan ketika ibunya akhirnya pulang setelah empat hari dirawat.

Tapi, konon, kini si bayi sudah baikan. Perawatan tidak lagi dilakukan di NICU, tapi di Perina. Semoga cepat sehat ya, Nak.

Jumat, 18 Maret 2016

Berapa Sih Biaya Melahirkan di Seputaran Depok?

Mungkin gue termasuk emak yang galau. Apalagi soal melahirkan yang makan biaya banyak. Apalagi kemungkinan besar gue kembali melahirkan secara sesar, kayak anak pertama. Tapi ya... karena waktu yang memisahkan anak pertama dan kedua udah lebih dari 3 tahun, konon bisa normal. Tapi enah kenapa, gue tetap aja deg-deg-an.

Karena kegalauan gue ini, sampe sekarang gue belum tau mau melahirkan di mana, padahal udah masuk semester ketiga lho, tepatnya 33 minggu. HPL gue sekitar 2 Mei 2016. Nah lho! Kalau emak-emak lain mungkin udah mantap, ngikutin tempat dia kontrol rutin atau dokternya. Nah, kegalauan gue ini juga yang mengantarkan gue keliling Depok buat survei biaya lahiran di beberapa rumah sakit. Dan ternyata survei ini nggak menyelesaikan masalah, gue tambah galau.

Karena gue nggak mau galau sendiri, maka gue akan berbagi hasil survei ini. Dan karena yang bikin gue deg-deg-an adalah SC, maka gue lupa ngintip biaya persalinan normal di beberapa rumah sakit. Ini dia hasilnya
1. RS Hermina Depok
Jl. Raya Siliwangi No. 50 Pancoran Mas, Depok. Telp. 021-77202525

Persalinan Normal
- Suite Room Rp 20.054.000
- SVIP Rp 16.882.500
- VIP Rp 15.319.000
- Kelas I Rp 11.039.750
- Kelas II Rp 8.456.000
- Kelas IIA Rp 7.982.000
- Kelas III Rp 6.401.500


Sectio Caesaria
- Suite Room Rp 35.128.200
- SVIP Rp 30.195.400
- VIP Rp 27.936.600
- Kelas I Rp 22.641.800
- Kelas II Rp 18.130.000
- Kelas IIA Rp 17.340.000
- Kelas III Rp 13.776.700
Tarifnya konon masih bisa berubah-ubah. Dan itu belum termasuk biaya administrasi 7 persen, tarif visite dokter, pemeriksaan laboratorium dan penunjang medis lainnya, biaya obat-obatan yang diresepkan. Artinya, biayanya lebih mahal dari yang tercantum di atas....
Oh ya, rumah sakit ini nerima pasien BPJS juga.

2. Hasanah Graha Afiah (HGA)
Jl. Raden Saleh No.42 (Studio Alam TVRI) Depok. Telp. 021-77826267
Nah, kalo tarif di rumah sakit yang terletak di daerah Raden Saleh (deket SMA 3 dan Studio Alam TVRI) ini agak lengkap. Gue nggak ke sana, cuma minta kirimin list tarifnya sama salah satu kenalan yang bekerja di sana. RS ini juga terima pasien BPJS.

Persalinan Normal
- VVIP Rp 13.963.500
- VIP Deluxe Rp 12.379.900
- VIP Rp 11.384.800
- Kelas I Rp 8.431.600
- Kelas 2 Rp 6.516.300
- Kelas 3 Rp 5.061.100

Sectio Caesaria
- VVIP Rp 25.792.350
- VIP Deluxe Rp 23.122.700
- VIP Rp 20.913.150
- Kelas I Rp 16.873.900
- Kelas 2 Rp 13.605.050
- Kelas 3 Rp 11.342.000

3. Mitra Keluarga Depok
Jl. Margonda Raya Pancoranmas, Depok Telp. 021-77210700, 77210800 (Depan terminal/ITC Depok).
Satu hal yang menarik di sini adalah program promo paket persaliannya yang berlaku sampai akhir Desember 2016 ini. Tapi promo ini hanya berlaku untuk kelas III ya. Sayarat dan ketentuan berlaku (misal, untuk persalinan normal tanpa induksi dan sesar bukan tengah malam). Harga promo paket ini:
- Persalinan normal Rp 4.700.000
- Sectio Caesaria Rp 11.500.000
Itu udah termasuk biaya kamar, dokter dll.

Kalau mau tarif normal, ini dia

Partus Normal
- SVIP Rp 7.250.000
Rp 9.370.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 11.290.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 12.080.000 (dengan ILA)

- VIP/IA Rp 6.070.000
Rp 7.870.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 9.450.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 10.360.000 (dengan ILA)

- IC/IB/ICU/ISOLASI Rp 4.720.000
Rp 6.180.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 7.440.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 8.650.000 (dengan ILA)

- Kelas II Rp 3.650.000
Rp 4.780.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 5.740.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 7.370.000 (dengan ILA)

- Kelas III Rp 2.755.000
Rp 3.595.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 4.300.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 6.155.000 (dengan ILA)

Sectio Caesaria (SC)

- SVIP Rp 26.718.000
- VIP/IA Rp 23.770.000
- IC/IB/ICU/ISOLASI Rp 20.610.000
- Kelas II Rp 16.752.000
- Kelas III Rp 12.971.500

Kelihatan nggak jauh beda sama paket yang ditawarin? Hohooo jangan salah. Tarif normal itu belum termasuk pemeriksaan penunjang, jasa konsul dokterbiaya admin, obat-obatan, biaya kamar ibu dan bayi, dan alat kesehatand i ruang perawatan. Jadi silakan diperhitungkan.

4. Sentra Medika
Jl. Raya Bogor, Jalan Raya Bogor, Telp. 021-874 3790
Ini sebenarnya agak jauh dari radar pantauan gue. tapi berhubung dokter kandungan gue praktek di sini juga, jadi gue pun mencari tahu biaya di sini. Eh tapi kok yang sempet gue foto cuma biaya SC ya? Di sini pun terima BPJS

SC
- VIP Rp 11.600.000
- Kelas I Rp 10.740.000
- Kelas II Rp 9.880.000
- Kelas III Rp 8.160.000

SC + Histerektomi
- VIP Rp 20.680.000
- Kelas I Rp 18.160.000
- Kelas II Rp 15.640.000
- Kelas III Rp 13.120.000

SC + Kategori besar (kista bilateral, ligasi A.hipogastrika, B-lynch)
- VIP Rp 16.160.000
- Kelas I Rp 14.640.000
- Kelas II Rp 12.620.000
- Kelas III Rp 11.100.000

Gue nggak ngerti istilah2nya. tapi mestinya sih yang bakal sering dipake SC biasa aja. Tapi ya... itu baru biaya tindakan, belum termasuk kamar, obat, pemeriksaan penunjang, tambahan biaya kalau di atas jam 9 malam, dan biaya administrasi 6 persen.



Nah... Sementara itu dulu. Mestinya sih ada Bunda Margonda juga. Tapi belum sempet survei ke sana aja.

















Selasa, 01 Maret 2016

Senam Hamil, di Mana?




Pernah senam hamil? Saya pernah, Sabtu kemarin di Mitra Keluarga Depok. Ini pengalaman pertama saya ikut senam-senam ginian. Darihamil pertama, saya nggak tertarik. Nggak terlalu ngerti apa fungsinya. Mungkin karena saya juga nggak terlalu suka olahraga, kecuali jalan-jalan. Ini semua berawal dari tetangga yang hamilnya lebih tua sekitar 3 minggu dari saya. Dia udah lama banget ngajakin ikutan senam hamil karena dia pengen persalinan normal. Dia udah mulai dua minggu sebelum saya, katanya asyik. Makanya saya mau.

Di Depok, ada beberapa pilihan tempat buat ikut senam hamil di Depok yang saya tahu. Pertama di Bunda Margonda. Kalau ini, dr kehamilan pertama udah niat pengen ikut tapi entah kenapa batal melulu sampe akhirnya brojol. Di Bunda, sekali datang bayar Rp 35.000, cukup bawa badan karena matras dan alat lainnya udah disediain. JAdwalnya juga sama, setiap Sabtu ada dua sesi. Sesi pertama jam 8.00 dan sesi kedua jam 9.00. Kedua, ya di Mitra Keluarga, tempat saya senam ini. Di sini jadwalnya juga setiap Sabtu, tapi cuma sekali. Mulainya jam 10.00. Jam 11.00 selesai, dilanjutkan dengan penyuluhan.

Nah, penyuluhan ini kadang oleh bidan yang merangkap instruktur senam, kadang oleh dokter. Kebetulan banget, pas saya ikut, 227 Feb kemarin, ada seminar oleh dr Marissa SpOg. Dia ngomongin soal keputihan saat hamil. BErhubung saya nggak ngalamin itu, jd saya cuma dengerin, nggak nanya. Sayang banget juga, teman-teman senam yang lain nggak ada yang nanya. Oh ya, bayar senamnya lebih murah di sini, cukup Rp 15.000 saja. Itu sudah termasuk snack, segelas susu Prenagen, dan peralatan senam (matras, guling, dan baju olahraga buat yang nggak siap). Kayaknya, harga snacknya aja udah lebih mahal dari biaya pendaftarannya. Ketiga, ada di tepi Danau UI, setiap Minggu mulai jam 7.

Beda dengan di Bunda atau di Mitra, senam di sini di ruang terbuka. Senamnya juga yoga, bukan senam hamil biasa. Instrukturnya adalah seorang aktivis anti melahirkan sesar, namanya Prita. Dia ngajakin teman-teman yang seide buat bikin komunitas. Di sini kita juga diajarin teknik-teknik melahirkan notmal. Oh ya, bayarnya sukarela. Jadi setiap selesai senam, akan ada kantong beredar di antara peserta.

Sebenarnya, apa sih fungsi senam hamil? Konon katanya, senam hamil ini berguna untuk latihan otot, pernapasan, dll yang nantinya bakal dibutuhin saat persalinan normal. Buat ibu hamil dan janinnya sendiri, senam ini berguna banget buat ngelancarin perederan dasar. Konon lagi, ini bisa bikin bumil rilkes. Pokoknya, ini bagus buat persiapan melahirkan. Apalagi, instruktur dan bidan suka berbagi cerita, tips, dan trik buat ngehadapin persalinan. Entah nanti endingnya tetap sesar, yang penting kan usaha. Satu hal yang saya senang di sini adalah ketemuan sama temen sesama bumil. Buat saya, ini penting. Saya jadi tahu bahwa ketegangan, masalah, kesulitan, keluhan, dll, bukan milik saya sendiri. Apalagi, saya always selalu tegang kalau nginget persalinan.

Senin, 29 Februari 2016

Ruang Laktasi di Kantor, Seperti Apa?

Banyak kantor yang mulai sadar pentingnya ASI buat bayi. Bukan cuma buat si bayi itu aja sih, tapi konon dampak nggak langsungnya juga bakal terasa buat kantor. Bayi ASI dipercaya lebih jarang sakit, ini bikin si ibu yang bekerja juga jarang izin karena anak sakit, misalnya. Ini kan bikin kinerja si ibu lebih baik. Nah, tapi, apa dong yang disediain kantor supaya para ibu bisa ngasih ASI ke bayinya, meskipun dia harus ninggalin bayi seharian? Ruang laktasi adalah salah satunya. NGgak usah yang besar, ukuran 2x3 meter aja cukup kok, yang penting di dalamnya ada tempat duduk, syukur-syukur sofa yang nyaman), kulkas (kalau bisa sih yang dua pintu biar bisa nyimpen es krim sekalian #eh), wastafel buat nyuci peralatan mompa kalau udah kelar.

Sekarang mulai banyak kantor yang nyedian ruangan kayak gitu. Kantor saya ini adalah salah satunya. Kabar soal adanya ruang laktasi ini sih udah lama, tapi saya baru ngecek tadi ketika nemenin teman sekantor mompa. PEnampakannya lumayan, ada sofa panjang, dua kursi busa yang cukup nyaman, satu meja kecil, dan kulkas dua pintu. Sayangnya.... di ruangan ini nggak ada wastafelnya. Jadi, pilihannya, setelah mompa, nyuci peralatan mompa ke pantri atau nggak usah dicuci, simpen aja di kulkas.

Nah, teman saya ini milih opsi yang kedua. nggak usah dicuci, toh, selang 2-3 jam bakal mompa lagi. Di ruang pendingin kulkas itu juga ada boks yang isinya ASI ibu lain, plus pompa ASI yang belum dicuci juga kayaknya. Karena masing-masing dalam boks sendiri, mudah-mudahan nggak terkontaminasi ya. Awal saya pindah ke kantor ini, ruang laktasi ini belum ada. Saay sempet kok ngeliat ada seseorang yang menutup seluruh tubuhnya dengan mukena. Janganya tangan, muka aja nggak kelijatan. Dari suara mesin, tahulah saya bahwa orang yang di dalam mukena ini adalah busui, yang lagi mompa ASI buat anaknjya di rumah.

Ini masih mending. Di kantor lama saya dulu, mungkin nggak ada musola, mompa ASI dilakukan di ruang kerja. Di tempat duduk masing-masing. Pemred pernah nawarin sih buat pake ruangannya, cuma males aja karena teman busui lain melakukannya di mejanya. Untungnya, kantor saya dulu itu isinya perempuan semua. Kalaupun ada laki, ya laki-laki keperempuan-perempuanan. Jadi, saya nggak ragu juga buat ikutan mompa di meja sendiri. Kulkasnya sih ada di ruang kami kerja juga, gabung dengan kulkas makanan dan minuman lainnya.

Kantor yang sebelumnya lagi lebih gawat. Seorang teman yang mau mompa ASI, kabur ke kamar mandi. Di situlah dia buka bajunya, dan beraksi. Saya sih nggak rekomen ya melakukan hal ini, siapa yang jamin kamar mandi bersih dari kuman? Tapi, teman saya itu sepertinya nggak pusing. Sebab dia nggak terlalu ngotot ngasih ASI buat anaknya. Jadi mompa buat dia tuh bukan buat nyetok ASI, tapi buang ASI yang udah menuhin payudaranya dan bikin sakit.

Nah, kalau di kantor kamu gimana?

Kamis, 18 Februari 2016

Hai, Gadis Kecil

awalnya saya nggak mau tau jenis kelamin janin yang saya kandung. Yang penting sehat. Lagi pula, saya deg-degan. Terasa ada beban karena mertua pengen cucu perempuan, setelah cucu pertamanya, yang juga anak saya, itu laki-laki. Jadi, saya akan menerima anak kedua saya ini dengan senang hati, apa pun jenis kelaminnya. Akan jadi kejutan, kan? Kayak para perempuan zaman dulu, setiap kali melahirkan pertanyaan yang muncul pertama adalah "Laki atau perempuan?"

Eh tapi ya.... ketika periksa terakhir kali di dr Samson (ya, saya balik lagi ke dokter Samson), suami saya pesan, "Jangan lupa tanya jenis kelaminnya!" Akhirnya, ya gitu deh. Ketika si janin diintip lewat USG, pertanyaan itu akhirnya terlontar juga. Dan ternyata... dia adalah perempuan. Jadi, akan ada gadis kecil di keluarga kami. Saya nggak bisa ngebayangin bagaimana punya gadis kecil. Maklum aja, ponakan-ponakan di sekitar saya cowok semua. Ada satu cewek, tapi tinggalnya nun jauh di Lampung sana. Itu pun sudah beranjak abg.

Tapi sesungguhnya saya dulu pengen punya anak cewek. Itu dulu banget ya, ketika saya punya cita-cita untuk tidak menikah tapi punya anak cewek (ini gimana caranya?). Biar hidup saya kayak Lorelai dan Rori Gilmore(dari serial Gilmore Girls). Ceritanya, saya akan menjadikan anak cewek saya itu teman, bisa jalan bareng, curhat soal cowok (eh apa iya gue bakal pacaran ketika anak gadis gue juga udah mulai pacaran), belanja bareng, nongkrong di warung kopi bareng, dan banyak lagi lah. Tapi ketika gue punya kepenginan itu, ummur gue udah 21 tahun, sementara Lorelai dana anknya cuma beda 16-17 tahun. Eh tapi ibunya Lorelai orang kaya, jadi ketika dia butuh uang buat sekolah Rori ibunya bisa minjemin.

Eh tapi Lorelai cantik, jadi bisa punya drama cinta yang luar bisa. Eh tapi Lorelai tinggal di Amerika, jadi punya anak dari pacarnya, tanpa menikah juga nggak apa-apa. Jadi ya sudah, cita-cita itu saya kubur dalam-dalam. Kembali ke gadis kecil di dalam perut saya. Sebelum dokter kasih bocoran soal jenis kelamin ini, saya sungguh penasaran. Teman-teman saya juga. Jadi, kami pun main tebak-tebakan. "Perutnya lebar, kayaknya cewek deh." "Lo malas dandan, kayaknya anak lo cowok deh." "Perut lo buncit ke bawah, kayaknya anak lo cewek ya." Dan banyak lagi lah.

Tapi kalau dari saya sendiri? Setiap kehamilan memang beda pada orang yang sama. Di kehamilan pertama, saya nyaris nggak ngarasain susahnya jd ibu hamil. Apalagi waktu itu saya masih di lapangan tiap hari, ngejar-ngejar narsum, nongrong nungguin RDP di DPR yang nggak jelas kapan kelarnya, dll. Dalam sebulan, saya juga bisa keluar kota dua kali. Tapi ya sudahlah ya.

Nah sekarang? Kayaknya udah pernah gue ceritain ya. Tapi memasuki trimester tiga ini, lain lagiyang gue rasain. Selangkangan dan vagina terasa nyeri. Kalau udah duduk agak lama, mau bangun susah bener. Jalan pun jadi kayak robot. Konon, itu terjadi karena ada pembesaran rahim dan mulai masuknya kepala bayi di panggul, jalan lahirnya kelak. Dan normal aja sih, menurut literatur yang gue baca.

Oke, terlepas dari perbedaan ini, apa rencana gue sama si gadis kecil ini? Dulu sih... gue punya pengen anak cewek yang mandiri, bukan maniak putri-putrian, dan aktif di banyak kegiatan, tari misalnya. Gimana caranya? Ya mungkin nggak usah kasih dongeng ciderella ya atau putri salju, atau film frozen, atau yang sejenisnya. kasih aja dongeng yang netral. Jadi, panutan dia sebagai cewek siapa dong? Kasih ajalah contoh yang nyata, yang bisa dia liat kiprahnya di dunia. Siapa tau, gadis kecil saya ini kelak akan punya kiprah besar juga untuk dunia.

Jumat, 22 Januari 2016

Bump Buddy, Perlu Nggak Sih?

Dulu, waktu hamil pertama, saya punya banyak bump buddies, alias teman sesama perempuan hamil. Satu bump buddy saya namanya Nerin, teman kampus yang sekos sampai kerja, usia kehamilannya jauh lebih tua. Jadi ketika dia melahirkan, saya masih hamil muda. Otomatis dia punya pengalaman yang lebih banyak dari saya, maka dia pun saya jadikan konsultan gratisan hihi.

Satu lagi namanya Rani. Dia teman ngontrak yang nikahnya cua besa sebulan sama saya. USia kehamilan saya dengan dia cuma beda dua minggu. Iya, dia emang lebih tokcer, jadi begitu kawin langsung hamil. Karena beda usia kandungannya nggak jauh beda, dia jadi teman berbagi saya. Bahkan dokter SpOG kami pun sama. Dengan Rahni saya juga sempat foto-foto hamil ke studio segala, padahal sama suami masing-masing nggak haha.

Nah, bukan cuma usia kandungan kami yang sama, jenis kelamin anak kami pun sama. Mungkin di saat itu lagi musim anak cowok. Bedanya, si Rani ternyata lebih nggak tegaan sama anak ternyata. Ketika cuti melahirkan selesai, dia langsung mengajukan surat pengunduran diri. Katanya setiap kali ngantor selalu nangis karena inget anak yang ditinggal di rumah, padahal waktu itu yang jagain ibunnya sendiri. Sementara saya, tetap lanjut kerja sampapi sekarang. Tapi saya maklum sih, jam kerja kantornya itu luar biasa. Katanya dia berangkat subuh, pulang sampai rumah skeitar jam 10. Sementara saya waktu itu paling 6 jam di luar rumah, kecuali pas tugas luar kota.

Ada lagi satu bum buddy saya, namanya Ibeth. Dia wartawan di salah satu media ekonomi terbesar di negeri ini. Hampir tiap hari kami ketemu di lapangan, karena kebetulan lahan liputan kami sama. Baik dia maupun suaminya, baik sekali.... Selama masa kehamilan saya, dia sempat dua kali hamil karena yang pertama keguguran. Di hamil pertama, dia konsul di rumah sakit yang sama dengan saya, tapi dokternya beda.

Maka ketika hamil yang kedua, dia minta rekomendasi dokter dr saya, maka jadilah dokter kami sama. Di kali kedua ini, usia kehamilan kami beda sekitar tujuh bulan. Lumayan jauh sih. MEski badannya kelihatan lebih besar dan tangguh dari saya, kehamilan teman saya ini agak penuh tantangan. Dia sempat bedrest, untunglah kantornya superbaik sehingga dia bisa kertja dari rumah aja. Tapi persalinan dia jauh lebih lancar. Kalau saya sempat pembukaan karena niat lahiran normal tapi akhirnya sesar, dia lancar melahirkan secara normal. Anaknya cewek, dan baik... sekali. Bum buddies buat saya adalah teman seperjuangan. Kami mengalami kebahagian bersama-sama, sekaligus kesulitan sama-sama. Kadang-kadang ada tip dari mereka yang ampuh saya pakai, misalnya soal kaki kram. Saya juga kasih tips dong buat mereka, mudah-mudahan sih berguna.

Tapi yang paling berharga dari semua ini adalah cerita-cerita mereka selama melewati masa ini. Terutama Ibeth. Saya terharu sekali dengar setiap perjuangan dia, dari flek ringan, pakai kapsul penguat kandunga, mual, sampai terpaksa bedrest cukup lama. Kadang-kadang saya sampai merasa jadi dia. Uh... betapa berat.

Hamil? Saatnya Ganti Bra

Ketika hamil, bukan hanya perut yang bakal membesar. Payudara juga. Gak cuma membesar, payudara bakal berasa sakit. Lho, kok bisa? Iya, payudara membesar seiring dengan menebalnya lapisan lemak akibat bertambahnya kelenjar susu dan darah. Ini biasanya terjadi di semester kedua sampai ketiga. Tapi soal sakit, itu terjadi sejak awal-awal kehamilan. Menurut banyak literatur, penyebabnya adalah bertambahnya hormon estrogen dan progesteron, konon buatpersiapan menyusui ketika melahirkan kelak.

Nah, kalau sudah begini, saatnya buat ganti bra. Ini udah gue lakukan, nggak sekaligus sih. Karena harga bra itu nggak murah (ih... apa sih yang murah?), maka gue belinya nyicil. Jadi gue juga masih make bra zaman sebelum hamil, tapi yang masih memungkinkan dipakai aja sih. Agak menyiksa emang, tapi ya sudahlah.

Bra bra baru gue ini naik dua ukuran, biasanya gue pakai nomor 32 (ih kecil banget) atau 34, sekarang gue pakai 36. Masih belum terlalu besar sih, tapi yang jelas banyak bra yang sebelum hamil itu cuma mampu menutupi "puncak"-nya saja. Sementara, "Lereng"-nya beleber kemana-mana. Bukan cuma nggak nyaman sih, tapi kalau pakai baju bahan kaos, jadinya nggak sedap dipandang.

Bra seperti apa yang gue beli? Yang biasa-biasa aja, bra emak-emak terutama. Sengaja gue nggak beli bra menyusui yang bagian tengahnya bisa dibuka, atau ada bukaan di bagian sambungan cup depan. Berdasarkan pengalaman menyusui gue lebih dari empat tahun lalu, ketika melahirkan Kaka, gue nggak terlalu suka pakai bra menyusui. Padahal waktu itu gue semangat ba nget beli bra menyusui. Emang lebih praktis sih karena gue nggak perlu buka kaitannya, tapi buat gue yang menyusui, atau bayi gue, kayaknya nggak nyaman karena yang terbuka cuma bagian puncaknya aja. Alhasil, setiap kali menyusui, gue tetap buka kaitan dan membiarkan payudara gue terbuka di semua bagian.

Bra menyusui ini juga gue rasakan nggak asyik ketika mompa ASI. Sekali lagi, ini memang lebih praktis. Tapi entah kenapa, gue ngerasa kalau pakai bra menyusui itu, corong pompa nggak ketutup semua sama bagian payudara. Jadi ada celah angin sedikit. padahal kalau mompa itu, angin yang masuk bisa mengurangi daya isap pompa. Nah, alhasil, biar kata mompa di kantor atau di musola (dulu kantor saya nggak ada ruang menyusui), tetap aja buka kaitan bra.

Satu lagi kriteria bra pilihan gue adalah tanpa kawat. Iya, kebayang dong kalau nanti menyusui gue pakai bra yang berkawat, bakal kaku banget ketika dibuka buat menyusui. Biar kata kawat ini bikin payudara kelihatan bulet kayak punya perawan, tapi nggaklah. Gue sekarang cari yang nyaman-nyaman aja buat dipake. Hamil tuh udah bikin lo nggak nyaman sama tubuh sendiri, jadi biar nggak nambah, pilihlah yang nyaman-nyaman aja buat segala sesuatu buat segala sesuatu yang bakal lo pake. Apalagi bra.

Selasa, 05 Januari 2016

Mencoba dr Dewi Retnowati SpOG di Klinik Azzahra

Sebenarnya saya tergolong orang yang setia. Tapi kalau sama dokter, tunggu dulu. Saya ini peragu banget. Dulu waktu hamil si Kaka, dari awal kehamilan sampai menjelang melahirkan, saya ke dr Tofan Widya Utami SpOG di Bunda Margonda. Tapi menjelang melahirkan, entah kenapa saya ragu lalu mencoba dr Maman Hilman di HGA dan di klinik bersalinnya yang di Depok Timur, Budhi Jaya Utama. Dokter kandungan satu ini cukup tenar di kalangan ibu-ibu hamil seantero Depok. Sampai melahirkan, saya akhirnya ditangani dokter yang ternyata seniornya dr Tofan itu.

Nah, di kehamilan kedua ini, dokter saya adalah dr Samson Chandra, dia di klinik Medisca dekat rumah dan di Melia Cibubur dan Permata Medika. Tapi, ketika kehamilan saya masuk ke pekan ke-23, saya mencoba lagi dokter baru. Pilihan saya jatuh ke dr Dewi Retnowati SpOG yang praktek di Klinik Azzahra, dekat rumah juga. Bukan karena dokternya sih, karena kliniknya aja dekat rumah. Saya kira dia ini dr Dewi yang praktik di HGA, karena saya kembali berencana melahirkan di sana. Tapi ini dokter Dewi yang lain, ini dokter Dewi yang praktik di RS Tugu Ibu Jl Raya bogor dan Grha Permata Ibu Beji.

Dokter ini praktik 3 kali seminggu di Azzahra, kalau nggak salah sih Senin, Kamis, dan Sabtu. Nah, saya ke sana Senin (4/1/16). Jadwalnya hari itu jam 18.00. Tapi ketika saya sampai di sana jam 18.30, si dokter belum datang. PAsien yang nunggu baru satu, jadi saya di urutan kedua. Karena dokternya belum datang, saya milih pulang dulu buat mandi dan ambil buku riwayat kontrol kehamilan yang dari dr Samson.

Balik lagi ke Azzahra, ternyata dokternya belum datang juga. Tapi saya nggak terlalu lama nunggu ketika seorang perempuan berjilbab dengan jas putih bertuliskan RS Tugu Ibu datang. Senyum ragu mengembang di bibirnya. Setelah ia masuk ke ruangan parktik, pasien pertama langsung masuk. Nggak lama, saya dikasih tau untuk siap-siap. Dan benar, pasien pertama itu nggak lama-lama banget di dalam.

Ketika saya masuk, dokter itu diam. Saya lebih dahulu menyapa. Lalu dia mempersialakan saya duduk. Kesan pertama saya, dokter ini terlalu kalem. Setelah tanya-tanya ada keluhan apa, saya pun langsung diminta naik ke ranjang pemeriksaan (eh kok ranjang?). Perut dioles dengan krim buat USG oleh suster, lalu dokter itu langsung duduk di sebelah saya. Sambil pegang stik USG, dia bilang, "Aduh maaf ya, VGA-nya lagi jelek. tapi mudah-mudahan saya bisa baca," katanya.

Dia lalu menempelkan alat itu di perut saya, sambil mengutak-atik mesin USG. "Itu kepalanya, ya pak. Ini pertunya. Tapi maaf ibu nggakbisa melihat karena monitor depan lagi mati," katanya. Suami saya, yang ikut masuk bersama dengan Kaka, cuma senyum-senyum. Ah yak... biarlah, nanti saya lihat di hasil cetaknya aja.

Saya konsul nggak terlalu lama, memang nggak banyak yang perlu ditanya. Saya akhirnya nanya soal dampak makanan yang dipanggang, soal darah tinggi yang pernah saya alami di awal kehamilan, dll. Oh ya, soal darah tinggi, ini juga aneh buat saya. Ini adalah salah satu alasan saya mencoba dokter atau klinik lain. Tiga kali periksa di klinik MEdisca, tensi saya tinggi 140/90. Saya dikasih antioksidan. Tapi di klinik ini, tensi saya normal, cuma 110/70, sama dengan hasil cek tensi di tempat lain. "Mungkin saat itu ibu kelelahan, itu bisa berpengaruh juga," kata dr Dewi. Ah, bukan juga rasanya. kan saya pernah disuruh bederst seharian sebelum cek tensi lagi. Hasilnya tetap sama.

Malam itu dr Dewi hanya punya 4-5 pasiem. Jadi agak cepat. Asupan vitamin saya yang diresepkan belum siap, si dokter udah pulang. Biayanya? Cukup 385 ribu saja. Sama aja sih dengan di dr Samson. Nah, sekarang, apakah saya akan tetap sama dr Dewi, kembai ke dr Samson, atau mencoba dr lain?

Perjalanan Darat Jarak Jauh Pertama Si Kaka: Ke Kuningan

Ini pertama kali kami sekeluarga ke Subang, Kuningan, kampung halaman si abah (panggilan Kaka untuk kakeknya). Ini juga jadi perjalanan darat terlama bagi Kaka. Bukan karena jarak yang jauh, tapi macetnya yang nggak ketulungan. Maklum aja, kami berangkat pas peak season, sehari menjelang liburan Natal yang didahului dengan tanggal merah Maulid Nabi Muhammad. Jadi, very-very long weekend.

Nah, nggak heran deh banyak banget orang Jakarta dan sekitarnya yang memanfaatkan momen langka ini buat liburan. Kebanyakan sih masih di Pulau Jawa aja. Jadi tol Cikampek, sambung Cipali, itu padat dan macetnya mintak ampun! Nah, untuknya kami berangkat malam, Rabu (23/12/15), sepulang kerja, abis magrib sih tepatnya. Meski saya cuti, kami tetap harus menunggu yang lain dong, papa si kaka dan om-om si kaka yang masih kerja. Jadi, hampir sepanjang perjalanan itu Kaka tidur. Dia bangun setelah sampai di Majalengka, ketika kami beristirahat untuk makan tengah malam. Artinya kami sudah melalui enam jam perjalanan. Dari situ, konon perjalanan masih tiga jam lagi.

Naik apa? Mobil travel dong, yang konon kapasitasnya 14 penumpang (semacam Elf atau L300 gitu ya). Tapi kami isi dengan 9 orang saja, termasuk si Kaka. Biar lega. Ih... ternyata nggak lega-lega banget juga. Buktinya, saya nyang lagi hamil 5 bulan nggak bisa selonjoran dengan bebas. Nah, ini siksaan bagi ibu hamil yang konon punya darah tinggi.

Meski diterpa macet panjang, perjalanan ini cukup menyenangkan. Nah, yang nggak menyenangkan itu pas pulang pada Minggu (27/12) pagi. Perjalanan memang nggak semacet keberangkatan, tapi ya... penyiksaannya sangat berat. Penyebab utamanya adalah mobil yang ac-nya mati (berangkat juga, tapi nggak terlalu panas karena malam), supirnya merokok, dan jendela terpaksa dibuka. Akibatnya, Kaka seperti masuk angin. Masuk anginnya cukup mengkhawatirkan. Dia ngerasa sakit perut melilit. Lau, mampirlah di rest area, disuruh pup nggak mau. Ditongkrongin di wc, katanya nggak bisa keluar. Tapi badannya melengkung nahan sakit. Aih... apa pula ini. Minta makan di tempat. Dibeliin pecel ayam, dimakan dikit. Minta es kacang merah, akhirnya gue yang makan.

Yang bikin saya luar biasa repot adalah si kaka juga mabok. Bukan mabok aja kali, ya karena masuk angin ini jadi dia muntah-muntah. Berkantong-kantong plastik sudah muntahnya. Pakaian saya pun sudah kena muntahnya. lantai mobil p un begitu. Siamu saya jijik sama muntahannya. Terpaksalah saya yang bersihin. Derita saya.

Di tengah penderitaan ini, kami ternyata nggak bisa langsung menuju depok. Tapi ke rawamangun terlebih dahulu buat ngatar nenek uwaknya yang ikut dari Kuningan. Ah, tapi untung perjalanan lancar, dan si kaka setop muntah-muntah. Sesampainya di rumah, Kaka mulai segar berlahan-lahan. Makanan masuk, minuman juga. Dan malamnya dia langsung lompat-lompat.