Kamis, 18 Februari 2016

Hai, Gadis Kecil

awalnya saya nggak mau tau jenis kelamin janin yang saya kandung. Yang penting sehat. Lagi pula, saya deg-degan. Terasa ada beban karena mertua pengen cucu perempuan, setelah cucu pertamanya, yang juga anak saya, itu laki-laki. Jadi, saya akan menerima anak kedua saya ini dengan senang hati, apa pun jenis kelaminnya. Akan jadi kejutan, kan? Kayak para perempuan zaman dulu, setiap kali melahirkan pertanyaan yang muncul pertama adalah "Laki atau perempuan?"

Eh tapi ya.... ketika periksa terakhir kali di dr Samson (ya, saya balik lagi ke dokter Samson), suami saya pesan, "Jangan lupa tanya jenis kelaminnya!" Akhirnya, ya gitu deh. Ketika si janin diintip lewat USG, pertanyaan itu akhirnya terlontar juga. Dan ternyata... dia adalah perempuan. Jadi, akan ada gadis kecil di keluarga kami. Saya nggak bisa ngebayangin bagaimana punya gadis kecil. Maklum aja, ponakan-ponakan di sekitar saya cowok semua. Ada satu cewek, tapi tinggalnya nun jauh di Lampung sana. Itu pun sudah beranjak abg.

Tapi sesungguhnya saya dulu pengen punya anak cewek. Itu dulu banget ya, ketika saya punya cita-cita untuk tidak menikah tapi punya anak cewek (ini gimana caranya?). Biar hidup saya kayak Lorelai dan Rori Gilmore(dari serial Gilmore Girls). Ceritanya, saya akan menjadikan anak cewek saya itu teman, bisa jalan bareng, curhat soal cowok (eh apa iya gue bakal pacaran ketika anak gadis gue juga udah mulai pacaran), belanja bareng, nongkrong di warung kopi bareng, dan banyak lagi lah. Tapi ketika gue punya kepenginan itu, ummur gue udah 21 tahun, sementara Lorelai dana anknya cuma beda 16-17 tahun. Eh tapi ibunya Lorelai orang kaya, jadi ketika dia butuh uang buat sekolah Rori ibunya bisa minjemin.

Eh tapi Lorelai cantik, jadi bisa punya drama cinta yang luar bisa. Eh tapi Lorelai tinggal di Amerika, jadi punya anak dari pacarnya, tanpa menikah juga nggak apa-apa. Jadi ya sudah, cita-cita itu saya kubur dalam-dalam. Kembali ke gadis kecil di dalam perut saya. Sebelum dokter kasih bocoran soal jenis kelamin ini, saya sungguh penasaran. Teman-teman saya juga. Jadi, kami pun main tebak-tebakan. "Perutnya lebar, kayaknya cewek deh." "Lo malas dandan, kayaknya anak lo cowok deh." "Perut lo buncit ke bawah, kayaknya anak lo cewek ya." Dan banyak lagi lah.

Tapi kalau dari saya sendiri? Setiap kehamilan memang beda pada orang yang sama. Di kehamilan pertama, saya nyaris nggak ngarasain susahnya jd ibu hamil. Apalagi waktu itu saya masih di lapangan tiap hari, ngejar-ngejar narsum, nongrong nungguin RDP di DPR yang nggak jelas kapan kelarnya, dll. Dalam sebulan, saya juga bisa keluar kota dua kali. Tapi ya sudahlah ya.

Nah sekarang? Kayaknya udah pernah gue ceritain ya. Tapi memasuki trimester tiga ini, lain lagiyang gue rasain. Selangkangan dan vagina terasa nyeri. Kalau udah duduk agak lama, mau bangun susah bener. Jalan pun jadi kayak robot. Konon, itu terjadi karena ada pembesaran rahim dan mulai masuknya kepala bayi di panggul, jalan lahirnya kelak. Dan normal aja sih, menurut literatur yang gue baca.

Oke, terlepas dari perbedaan ini, apa rencana gue sama si gadis kecil ini? Dulu sih... gue punya pengen anak cewek yang mandiri, bukan maniak putri-putrian, dan aktif di banyak kegiatan, tari misalnya. Gimana caranya? Ya mungkin nggak usah kasih dongeng ciderella ya atau putri salju, atau film frozen, atau yang sejenisnya. kasih aja dongeng yang netral. Jadi, panutan dia sebagai cewek siapa dong? Kasih ajalah contoh yang nyata, yang bisa dia liat kiprahnya di dunia. Siapa tau, gadis kecil saya ini kelak akan punya kiprah besar juga untuk dunia.

Tidak ada komentar: