Kamis, 09 Juli 2015

Antara Mama, Ibu, Bunda, Ummi

Saya tertawa membaca status Facebook seorang teman hari ini, Kamis (9/7/2015). Soal panggilan ibu. Kata dia: sudahlah, pakai kata "ibu" saja, tak usah diganti dengan "ummi", "bunda", atau "mami". Kalau diganti, nanti kepanjangan ASI berubah menjadi ASU, ASBUN, dan ASMA. Ha-ha. Ah, ini mengingatkan saya empat tahun lalu, ketika menantikan saat-saat menjadi ibu. Oh ya, nggak perlu lah dijelasin lagi bahwa saya ibu (muda) beranak satu. Ibu muda, alias imud #eh. Dulu, saya sempat berdebat dengan suami soal panggilan si calon bayi kepada kami. Saya sih pinginnya "ibu" dan "bapak" biar Indonesia banget. Saya nggak ngikutin panggilan "emak" atau "aba" untuk kedua orangtua saya. Bukan takut terkesan ketinggalan zaman, tapi ya biar lebih Indonesia aja dengan panggilan "ibu-bapak". Saya juga udah kenal panggilan itu sejak SD, lewat pelajaran bahasa Indonesia "Ini ibu Budi, ini bapak budi dan saudara-saudaranya, Iwan dan Wati. Dalam bahasa formal juga kita lebih sering menggunakan ibu kan daripada yang lain. Apalagi "ummi" yang jelas Arab banget. Iya iya... saya tau, banyak juga kok kata-kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab. Bahkan ada yang percaya bahwa 9 dari 10 kata dalam bahasa Indoensia adalah asing. Bukan Arab aja sih, ada Sansekerta, Jawa, Belanda, Inggris, Latin, dll. Eh kok jadi bahas ini. Tapi ya, panggilan "ibu-bapak" itu nggak dapat restu dari suami saya. Suami saya itu juga orang Indonesia, cuma mungkin dia lebih ngerasa modern aja daripada saya (maaf ya suami, itu kesan saya lho). Dia pengen, calon anak kami itu memanggil kami dengan kata "mama" dan "papa". Mungkin itu seperti "mommy dan daddy" bagi orang Amerika. Aih... Dengan berat hati, demi menghormati suami (daripada dia milih dipanggil "om", anak gue bisa jadipertanyaan dong, bapaknya siapa?), saya akhirnya setuju. Toh panggilan itu juga paling banyak digunakan di negara saya ini. Maka ketika anak saya itu lahir, saya mulai mengajarinya memanggil kami dengan kata "mama" dan "papa". Nggak perlu waktu lama juga sih, karena ternyata kata panggilan itu termasuk kata-kata awal yang mampu diucapin bayi. Awalnya saya nggak masalah. Saya menyebut diri saya dengan kata "mama" di depan bayi saya, dan saya menggunakan kata ganti "papa" untuk suami saya. Tapi... panggilan itu mulai menjadi masalah ketika suami saya mulai belajar manggil saya dengan sebutan "mama" juga. Kok aneh ya. Kok saya ngerasa dia manggil mamanya, meski kami sebenarnya nggak serumah dengan mertua. Iya, dia manggil ibunya juga dengan sebutan "mama". Jadi saya sering kali nggak nengok kalau dipanggil "mama". asal tau aja, dari zaman pacaran, saya dan suami punya kebiasaan yang nggak sengaja manggil dengan sebutan "sayangku" (Ih, jangan diketawain dong). Tapi menjelang menikah saya memanggil dia "punkku" (juga jangan diketawain), meski dia tetap dengan panggilan awal. Balik lagi ke panggilan "mama". Merasa risi dengan panggilan itu, bahwa saya bukan mama dia, akhirnya saya minta dia jangan manggil saya dengan sebutan itu. Kalau anak sih tetap ya... Cuma belakangan ini, anak saya yang usianya hampir 4 tahun itu juga ikut-ikutan manggil kami dengan sebutan masing-masing tadi, "sayangku" untuk saya dan "punkku" untuk suami saya. Saya kasih tau dong bahwa panggilan itu cuma berlaku di antara kami, bukan kita (nggak perlu dijelasin ya beda "kami" dan "kita"). Kalau dia tetap harus "mama" dan "papa". Dia nurut sih. Cuma kadang-kadang aja dia ngeledek dengan manggil saya atau suami dengan "sayangku" (yang dia lafalkan dengan "cenggu") dan "punkku". Abis itu, dia ketawa dengan ekspresi isengnya. Nggak masalah sih, asal jangan dipanggil "ummi" aja, ha-ha.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Aku beneran ketawa bacanya haha

Aku jg risih dpanggil2 bunda sm suami. Krn biasa dpanggil ay aja. Jgn dktawain dong. Hahaha