Jumat, 22 Januari 2016

Bump Buddy, Perlu Nggak Sih?

Dulu, waktu hamil pertama, saya punya banyak bump buddies, alias teman sesama perempuan hamil. Satu bump buddy saya namanya Nerin, teman kampus yang sekos sampai kerja, usia kehamilannya jauh lebih tua. Jadi ketika dia melahirkan, saya masih hamil muda. Otomatis dia punya pengalaman yang lebih banyak dari saya, maka dia pun saya jadikan konsultan gratisan hihi.

Satu lagi namanya Rani. Dia teman ngontrak yang nikahnya cua besa sebulan sama saya. USia kehamilan saya dengan dia cuma beda dua minggu. Iya, dia emang lebih tokcer, jadi begitu kawin langsung hamil. Karena beda usia kandungannya nggak jauh beda, dia jadi teman berbagi saya. Bahkan dokter SpOG kami pun sama. Dengan Rahni saya juga sempat foto-foto hamil ke studio segala, padahal sama suami masing-masing nggak haha.

Nah, bukan cuma usia kandungan kami yang sama, jenis kelamin anak kami pun sama. Mungkin di saat itu lagi musim anak cowok. Bedanya, si Rani ternyata lebih nggak tegaan sama anak ternyata. Ketika cuti melahirkan selesai, dia langsung mengajukan surat pengunduran diri. Katanya setiap kali ngantor selalu nangis karena inget anak yang ditinggal di rumah, padahal waktu itu yang jagain ibunnya sendiri. Sementara saya, tetap lanjut kerja sampapi sekarang. Tapi saya maklum sih, jam kerja kantornya itu luar biasa. Katanya dia berangkat subuh, pulang sampai rumah skeitar jam 10. Sementara saya waktu itu paling 6 jam di luar rumah, kecuali pas tugas luar kota.

Ada lagi satu bum buddy saya, namanya Ibeth. Dia wartawan di salah satu media ekonomi terbesar di negeri ini. Hampir tiap hari kami ketemu di lapangan, karena kebetulan lahan liputan kami sama. Baik dia maupun suaminya, baik sekali.... Selama masa kehamilan saya, dia sempat dua kali hamil karena yang pertama keguguran. Di hamil pertama, dia konsul di rumah sakit yang sama dengan saya, tapi dokternya beda.

Maka ketika hamil yang kedua, dia minta rekomendasi dokter dr saya, maka jadilah dokter kami sama. Di kali kedua ini, usia kehamilan kami beda sekitar tujuh bulan. Lumayan jauh sih. MEski badannya kelihatan lebih besar dan tangguh dari saya, kehamilan teman saya ini agak penuh tantangan. Dia sempat bedrest, untunglah kantornya superbaik sehingga dia bisa kertja dari rumah aja. Tapi persalinan dia jauh lebih lancar. Kalau saya sempat pembukaan karena niat lahiran normal tapi akhirnya sesar, dia lancar melahirkan secara normal. Anaknya cewek, dan baik... sekali. Bum buddies buat saya adalah teman seperjuangan. Kami mengalami kebahagian bersama-sama, sekaligus kesulitan sama-sama. Kadang-kadang ada tip dari mereka yang ampuh saya pakai, misalnya soal kaki kram. Saya juga kasih tips dong buat mereka, mudah-mudahan sih berguna.

Tapi yang paling berharga dari semua ini adalah cerita-cerita mereka selama melewati masa ini. Terutama Ibeth. Saya terharu sekali dengar setiap perjuangan dia, dari flek ringan, pakai kapsul penguat kandunga, mual, sampai terpaksa bedrest cukup lama. Kadang-kadang saya sampai merasa jadi dia. Uh... betapa berat.

Hamil? Saatnya Ganti Bra

Ketika hamil, bukan hanya perut yang bakal membesar. Payudara juga. Gak cuma membesar, payudara bakal berasa sakit. Lho, kok bisa? Iya, payudara membesar seiring dengan menebalnya lapisan lemak akibat bertambahnya kelenjar susu dan darah. Ini biasanya terjadi di semester kedua sampai ketiga. Tapi soal sakit, itu terjadi sejak awal-awal kehamilan. Menurut banyak literatur, penyebabnya adalah bertambahnya hormon estrogen dan progesteron, konon buatpersiapan menyusui ketika melahirkan kelak.

Nah, kalau sudah begini, saatnya buat ganti bra. Ini udah gue lakukan, nggak sekaligus sih. Karena harga bra itu nggak murah (ih... apa sih yang murah?), maka gue belinya nyicil. Jadi gue juga masih make bra zaman sebelum hamil, tapi yang masih memungkinkan dipakai aja sih. Agak menyiksa emang, tapi ya sudahlah.

Bra bra baru gue ini naik dua ukuran, biasanya gue pakai nomor 32 (ih kecil banget) atau 34, sekarang gue pakai 36. Masih belum terlalu besar sih, tapi yang jelas banyak bra yang sebelum hamil itu cuma mampu menutupi "puncak"-nya saja. Sementara, "Lereng"-nya beleber kemana-mana. Bukan cuma nggak nyaman sih, tapi kalau pakai baju bahan kaos, jadinya nggak sedap dipandang.

Bra seperti apa yang gue beli? Yang biasa-biasa aja, bra emak-emak terutama. Sengaja gue nggak beli bra menyusui yang bagian tengahnya bisa dibuka, atau ada bukaan di bagian sambungan cup depan. Berdasarkan pengalaman menyusui gue lebih dari empat tahun lalu, ketika melahirkan Kaka, gue nggak terlalu suka pakai bra menyusui. Padahal waktu itu gue semangat ba nget beli bra menyusui. Emang lebih praktis sih karena gue nggak perlu buka kaitannya, tapi buat gue yang menyusui, atau bayi gue, kayaknya nggak nyaman karena yang terbuka cuma bagian puncaknya aja. Alhasil, setiap kali menyusui, gue tetap buka kaitan dan membiarkan payudara gue terbuka di semua bagian.

Bra menyusui ini juga gue rasakan nggak asyik ketika mompa ASI. Sekali lagi, ini memang lebih praktis. Tapi entah kenapa, gue ngerasa kalau pakai bra menyusui itu, corong pompa nggak ketutup semua sama bagian payudara. Jadi ada celah angin sedikit. padahal kalau mompa itu, angin yang masuk bisa mengurangi daya isap pompa. Nah, alhasil, biar kata mompa di kantor atau di musola (dulu kantor saya nggak ada ruang menyusui), tetap aja buka kaitan bra.

Satu lagi kriteria bra pilihan gue adalah tanpa kawat. Iya, kebayang dong kalau nanti menyusui gue pakai bra yang berkawat, bakal kaku banget ketika dibuka buat menyusui. Biar kata kawat ini bikin payudara kelihatan bulet kayak punya perawan, tapi nggaklah. Gue sekarang cari yang nyaman-nyaman aja buat dipake. Hamil tuh udah bikin lo nggak nyaman sama tubuh sendiri, jadi biar nggak nambah, pilihlah yang nyaman-nyaman aja buat segala sesuatu buat segala sesuatu yang bakal lo pake. Apalagi bra.

Selasa, 05 Januari 2016

Mencoba dr Dewi Retnowati SpOG di Klinik Azzahra

Sebenarnya saya tergolong orang yang setia. Tapi kalau sama dokter, tunggu dulu. Saya ini peragu banget. Dulu waktu hamil si Kaka, dari awal kehamilan sampai menjelang melahirkan, saya ke dr Tofan Widya Utami SpOG di Bunda Margonda. Tapi menjelang melahirkan, entah kenapa saya ragu lalu mencoba dr Maman Hilman di HGA dan di klinik bersalinnya yang di Depok Timur, Budhi Jaya Utama. Dokter kandungan satu ini cukup tenar di kalangan ibu-ibu hamil seantero Depok. Sampai melahirkan, saya akhirnya ditangani dokter yang ternyata seniornya dr Tofan itu.

Nah, di kehamilan kedua ini, dokter saya adalah dr Samson Chandra, dia di klinik Medisca dekat rumah dan di Melia Cibubur dan Permata Medika. Tapi, ketika kehamilan saya masuk ke pekan ke-23, saya mencoba lagi dokter baru. Pilihan saya jatuh ke dr Dewi Retnowati SpOG yang praktek di Klinik Azzahra, dekat rumah juga. Bukan karena dokternya sih, karena kliniknya aja dekat rumah. Saya kira dia ini dr Dewi yang praktik di HGA, karena saya kembali berencana melahirkan di sana. Tapi ini dokter Dewi yang lain, ini dokter Dewi yang praktik di RS Tugu Ibu Jl Raya bogor dan Grha Permata Ibu Beji.

Dokter ini praktik 3 kali seminggu di Azzahra, kalau nggak salah sih Senin, Kamis, dan Sabtu. Nah, saya ke sana Senin (4/1/16). Jadwalnya hari itu jam 18.00. Tapi ketika saya sampai di sana jam 18.30, si dokter belum datang. PAsien yang nunggu baru satu, jadi saya di urutan kedua. Karena dokternya belum datang, saya milih pulang dulu buat mandi dan ambil buku riwayat kontrol kehamilan yang dari dr Samson.

Balik lagi ke Azzahra, ternyata dokternya belum datang juga. Tapi saya nggak terlalu lama nunggu ketika seorang perempuan berjilbab dengan jas putih bertuliskan RS Tugu Ibu datang. Senyum ragu mengembang di bibirnya. Setelah ia masuk ke ruangan parktik, pasien pertama langsung masuk. Nggak lama, saya dikasih tau untuk siap-siap. Dan benar, pasien pertama itu nggak lama-lama banget di dalam.

Ketika saya masuk, dokter itu diam. Saya lebih dahulu menyapa. Lalu dia mempersialakan saya duduk. Kesan pertama saya, dokter ini terlalu kalem. Setelah tanya-tanya ada keluhan apa, saya pun langsung diminta naik ke ranjang pemeriksaan (eh kok ranjang?). Perut dioles dengan krim buat USG oleh suster, lalu dokter itu langsung duduk di sebelah saya. Sambil pegang stik USG, dia bilang, "Aduh maaf ya, VGA-nya lagi jelek. tapi mudah-mudahan saya bisa baca," katanya.

Dia lalu menempelkan alat itu di perut saya, sambil mengutak-atik mesin USG. "Itu kepalanya, ya pak. Ini pertunya. Tapi maaf ibu nggakbisa melihat karena monitor depan lagi mati," katanya. Suami saya, yang ikut masuk bersama dengan Kaka, cuma senyum-senyum. Ah yak... biarlah, nanti saya lihat di hasil cetaknya aja.

Saya konsul nggak terlalu lama, memang nggak banyak yang perlu ditanya. Saya akhirnya nanya soal dampak makanan yang dipanggang, soal darah tinggi yang pernah saya alami di awal kehamilan, dll. Oh ya, soal darah tinggi, ini juga aneh buat saya. Ini adalah salah satu alasan saya mencoba dokter atau klinik lain. Tiga kali periksa di klinik MEdisca, tensi saya tinggi 140/90. Saya dikasih antioksidan. Tapi di klinik ini, tensi saya normal, cuma 110/70, sama dengan hasil cek tensi di tempat lain. "Mungkin saat itu ibu kelelahan, itu bisa berpengaruh juga," kata dr Dewi. Ah, bukan juga rasanya. kan saya pernah disuruh bederst seharian sebelum cek tensi lagi. Hasilnya tetap sama.

Malam itu dr Dewi hanya punya 4-5 pasiem. Jadi agak cepat. Asupan vitamin saya yang diresepkan belum siap, si dokter udah pulang. Biayanya? Cukup 385 ribu saja. Sama aja sih dengan di dr Samson. Nah, sekarang, apakah saya akan tetap sama dr Dewi, kembai ke dr Samson, atau mencoba dr lain?

Perjalanan Darat Jarak Jauh Pertama Si Kaka: Ke Kuningan

Ini pertama kali kami sekeluarga ke Subang, Kuningan, kampung halaman si abah (panggilan Kaka untuk kakeknya). Ini juga jadi perjalanan darat terlama bagi Kaka. Bukan karena jarak yang jauh, tapi macetnya yang nggak ketulungan. Maklum aja, kami berangkat pas peak season, sehari menjelang liburan Natal yang didahului dengan tanggal merah Maulid Nabi Muhammad. Jadi, very-very long weekend.

Nah, nggak heran deh banyak banget orang Jakarta dan sekitarnya yang memanfaatkan momen langka ini buat liburan. Kebanyakan sih masih di Pulau Jawa aja. Jadi tol Cikampek, sambung Cipali, itu padat dan macetnya mintak ampun! Nah, untuknya kami berangkat malam, Rabu (23/12/15), sepulang kerja, abis magrib sih tepatnya. Meski saya cuti, kami tetap harus menunggu yang lain dong, papa si kaka dan om-om si kaka yang masih kerja. Jadi, hampir sepanjang perjalanan itu Kaka tidur. Dia bangun setelah sampai di Majalengka, ketika kami beristirahat untuk makan tengah malam. Artinya kami sudah melalui enam jam perjalanan. Dari situ, konon perjalanan masih tiga jam lagi.

Naik apa? Mobil travel dong, yang konon kapasitasnya 14 penumpang (semacam Elf atau L300 gitu ya). Tapi kami isi dengan 9 orang saja, termasuk si Kaka. Biar lega. Ih... ternyata nggak lega-lega banget juga. Buktinya, saya nyang lagi hamil 5 bulan nggak bisa selonjoran dengan bebas. Nah, ini siksaan bagi ibu hamil yang konon punya darah tinggi.

Meski diterpa macet panjang, perjalanan ini cukup menyenangkan. Nah, yang nggak menyenangkan itu pas pulang pada Minggu (27/12) pagi. Perjalanan memang nggak semacet keberangkatan, tapi ya... penyiksaannya sangat berat. Penyebab utamanya adalah mobil yang ac-nya mati (berangkat juga, tapi nggak terlalu panas karena malam), supirnya merokok, dan jendela terpaksa dibuka. Akibatnya, Kaka seperti masuk angin. Masuk anginnya cukup mengkhawatirkan. Dia ngerasa sakit perut melilit. Lau, mampirlah di rest area, disuruh pup nggak mau. Ditongkrongin di wc, katanya nggak bisa keluar. Tapi badannya melengkung nahan sakit. Aih... apa pula ini. Minta makan di tempat. Dibeliin pecel ayam, dimakan dikit. Minta es kacang merah, akhirnya gue yang makan.

Yang bikin saya luar biasa repot adalah si kaka juga mabok. Bukan mabok aja kali, ya karena masuk angin ini jadi dia muntah-muntah. Berkantong-kantong plastik sudah muntahnya. Pakaian saya pun sudah kena muntahnya. lantai mobil p un begitu. Siamu saya jijik sama muntahannya. Terpaksalah saya yang bersihin. Derita saya.

Di tengah penderitaan ini, kami ternyata nggak bisa langsung menuju depok. Tapi ke rawamangun terlebih dahulu buat ngatar nenek uwaknya yang ikut dari Kuningan. Ah, tapi untung perjalanan lancar, dan si kaka setop muntah-muntah. Sesampainya di rumah, Kaka mulai segar berlahan-lahan. Makanan masuk, minuman juga. Dan malamnya dia langsung lompat-lompat.