
Senin, 27 Juli 2015
Lewat Tengah Malam di Kereta Tanah Abang-Merak
Mudik ke Lampung tahun ini agak berbeda buat saya, juga keluarga kecil saya. Kalau buat saya, sebelum nikah saya rutin mudik setiap menjelang Lebaran. Biasnaya naik bus. Dan terakhir-akhir setelah lulus kuliah aja sering nebeng om. Ketika menikah, dan punya anak, saya selalu nebeng om. Naik bus buat saya terlalu repot, mesti bawa anak kecil, gendong tas besar berisi keperluan anak kecil yang segambreng, belum lagi kalau mesti pindah dari satu moda ke moda transportasi lainnya.
Tapi, seperti yang saya bilang di awal, tahun ini beda. Saya dan keluarga kecil ini mudik naik kereta, Krakatau namanya. Sebenarnya ini kereta ekonomi jarak jauh, Kediri-Merak, melalui Senen, Tanah Abang, Rangkas bitung, dan Merak. Jadwal berangkat dari merak, setiap hari jam 22.30. Ongkosnya Rp 30 ribu. Perjalanan Tanah Abang-Merak ditempuh 3 jam lebih. Tapi ketika saya naik, kereta ini agak telat. Dia baru berangkat jam 22.50. Mungkin karena padatnya perjalanan kereta Jawa karena banyak jadwal tambahan buat menampung pemudik. Dan, sampai merak jam 2.30.
Ini pengalaman pertama saya mudik naik kereta, setelah puluhan tahun tinggal di Jakarta. Buat suami dan anak saya apalagi. Rasanya? Lebih asyik. Apalagi perjalanannya malam, jadi ngerasa nggak buang-buang waktu di jalan. Terus, meski kereta ekonomi, keretanya bersih. AC-nya kerasa sejuk, mungkin karena malam juga ya. nggak tau deh kalau siang (eh tapi kalau untuk Tanah Abang-Merak adanya malam doang). Dan yang jelas areanya jauh lebih lapang dibandingin dengan bus. Jadi saya bisa leluasa selonjoran. Bangkunya, yang di-setting berhadapan dengan sebuah meja kecil di tengah-tengah, pun lebih lega.
Oh ya, satu yang jelas bikin kereta lebih unggul dibanding bus adalah colokan. Ya, di bawah meja kecil di antara bangku penumpang, ada dua colokan. Buat anak-anak zaman sekarang yang nggak bisa jauh-jauh dari colokan, bahkan rela beli kopi seharag 50 ribu cuma buat colokan doang, terang aja ini jadi nilai tambang banget.
Kenapa milih naik kereta? Sebenarnya ini nggak sengaja. Saya baru berencana mudik Kamis (1/7) atau sehari menjelang LEbaran. Karena, saya baru libur di tanggal itu. Di hari terakhir saya kerja, pulangnya agak siang. Seperti biasa, saya naik kereta. Biasanya naik dari Palmerah, transit Tn Abang, baru lanjut kerte Depok. Tapi hari itu saya langsung ke Tn Abang, kebetulan jalanan lancar. Ketika sampai di Tn Abang, saya iseng ngeliat loket tiket. Dan, di jadwal paling atas salah satu loket, ada keterangan kereta Krakatau yang berangkat setiap hari pukul 22.30. Nah, langsung saya telp pak suami, bujukin dia mudik malam itu juga. Oke, pak suami setuju.
Saya juga telp adik-adik saya yang kebetulan memang berencana puylang malam itu. Oke, satu adik setuju naik kereta. Satu lagi nggak bisa dihubungi. Saya anggap dia oke aja. Maka, saya pun cari informasi, soal harga tiket, waktu pembelian, dll. Ternyata, tiketnya tinggal 9 dan sya disaranin beli saat itu juga. Lalu saya langsung ke loket. Melihat calon penumpang lain beli tiket pakai KTP, saya bingung dong. Haduh, saya cuma pegang KTP saya sendiri. Apa kabar suami dan adik-adik saya? Apalagi si mbak yang nggak punya KTP. aih..
Percobaan pertama, saya nggak pake KTP suami, cuma KTP saya. Ditolak. Percobaan kedua, KTP suami pake fotonya aja yang dikirim barusan. Ditolak. Tapi saya bersikeras. Kan yang dibutuhin nomor KTP doang, masak ngak bisa pakai foto? Setelah berdebat, saya disaranin ke informasi. Nanya, boleh nggak foto KTP aja? Dan ternyata boleh. Balik lagi dong ke loket. Sambil antre, saya ngisi formulir pembelian untuk tiga orang, saya, suami, dan si Kaka. Oh ya, Si Kaka ini usianya udah hampir 4 tahun. dan aturannya anak usia 3 tahun ke atas harus udah beli tiket seharga orang dewasaa.
Ketika akhirnya sampai giliran saya, si mbaknya ternyata udah ganti. Et dah... dan si mbak yang ini nggak rese. Setelah saya kasih formulir pembelin, dia nggak nanya KTP lagi. Bahkan KTP saya juga nggak dilihat. Ah ternyata pelayanan KAI ini masih tergantung sama petugasnya, nggak ada standar baku. Tau begini, saya beliin sekalin adik-adik saya ituh.
Setelah tiket di tangan, saya pulang. Siap-siap dong karena memang belum ada persiapan. Berangkat ke stasiun Tanah Abang lagi sekitar jam 8 dari rumah. Naik commuterline dong. Dan seperti dugaan saya, kami kecepatan. Sampe sana baru jam 9.30. Ada waktu satu jam buat nongkrong-nongkrong nggak jelas bertigaan.
Naik kereta buat saya selalu menyenangkan. Apalagi buat Kaka. Dia punya buku tentang kereta api, dia selalu minta dibacain itu menjelang tidur. Dan begitu tahu kami mudik naik kereta, dia antusias banget. Buku itu pun wajib ditenteng haha. Sepanjang jalan pun dia nyaris nggak tidur. Bukan cuma minta dibacain buku, tapi juga nanya ini-itu tentang daerah yang dilewatin. untung aja di luar gelap. Karena nggak bisa lihat apa-apa, jadilah dia tidur.
Oh ya, ternyata seat yang katanya cuma tinggal 9 itu cuma bohong belaka. Nyatanya kereta ini banyak yang kosong. Kalau mau duduk terpisah, kami bisa tidur selonjoran di bangku-bangku yang kosong itu. Tapi ya sudahlah. Sebaiknya memang nggak tidur. Nikmati aja perjalana pertama Tanah Abang-Merak dengan Karkatau ini.

Senin, 13 Juli 2015
Gara-gara Kelenjar Infeksi
Dua minggu lalu, leher belakang si Kaka, tepatnya di bawah telinga, bengkak. Ini bikin saya panik. Jelas dong. Apalagi setelah dapat banyak informasi tentang bawah ;eher bengkak dari Internet. Oh ya, ada kebiasaan baru buat ibu muda kayak gue. Kalau anak kenapa-napa, tinggal browsing Internet aja, semua kelainan dan penyakit rasanya ada. Tapi ingat ya, ini cuma infromasi awal, akhirnya tetap juga harus ke dokter dan ke lab kalau memang dibutuhkan. Eh tapi pernah saya ke dokter, setelah browsing sana-sini, dan sedikit banyak tanya atau protes, saya dikatain dokter Internet sama si dokter.
Balik lagi ke soal bengkaknya leher Kaka dalam tulisan yang ini . Sekarang saya nggak panik lagi karena si Kaka udah dinyatakan nggak sakit lagi. Memang nggak pake tes lab sih, tapi kayaknya itu nggak perlu. dokter nggak nyaranin. Ketika Kamis atau Jumat (lupa hari tepatnya), minggu lalu ke dokter, Kaka cuma diperiksa biasa aja. Dia dibaringin di tempat tidur periksa, trus bawah rahangnya dipegang. Seperti biasa, dokter ini pelit bicara.
Ketika si dokter akhirnya selesai periksa dan balik ke mejanya, saya pun mulai gencar bertanya. dari soal bengkaknya, penyebabnya, apa tindakan selanjutnya, sampai dengan minta penegasan bahwa kesimpulan yang ada di kepala saya benar. Doker itu cuma jawab, "Kelenjar anak ibu udah nggak bengkak. berat badannya juga naik. Jadi kita lihat saja dalam tiga bulan ini apakah kelenjarnya kembali bengkak dan berat badannya turun. Kalau begitu, baru anak ibu dites darah.Bengkaknya kemarin mungkin karena amandelnya."
Oke, jadi kesimpulan saya adalah... kelenjar Kaka cuma infeksi. Dikasih antibiotik kemarin langsung kempes. Jadi kekhawatiran saya soal TBC apalagi kanker, nggak banget deh. Ya makllum aja deh, saya ibu muda yang terlalu banyak dapat informasi dari Internet. Padahal saya nggak punya background ilmu kesehatan sama sekali.
Kamis, 09 Juli 2015
Antara Mama, Ibu, Bunda, Ummi
Saya tertawa membaca status Facebook seorang teman hari ini, Kamis (9/7/2015). Soal panggilan ibu. Kata dia: sudahlah, pakai kata "ibu" saja, tak usah diganti dengan "ummi", "bunda", atau "mami". Kalau diganti, nanti kepanjangan ASI berubah menjadi ASU, ASBUN, dan ASMA. Ha-ha. Ah, ini mengingatkan saya empat tahun lalu, ketika menantikan saat-saat menjadi ibu. Oh ya, nggak perlu lah dijelasin lagi bahwa saya ibu (muda) beranak satu. Ibu muda, alias imud #eh.
Dulu, saya sempat berdebat dengan suami soal panggilan si calon bayi kepada kami. Saya sih pinginnya "ibu" dan "bapak" biar Indonesia banget. Saya nggak ngikutin panggilan "emak" atau "aba" untuk kedua orangtua saya. Bukan takut terkesan ketinggalan zaman, tapi ya biar lebih Indonesia aja dengan panggilan "ibu-bapak". Saya juga udah kenal panggilan itu sejak SD, lewat pelajaran bahasa Indonesia "Ini ibu Budi, ini bapak budi dan saudara-saudaranya, Iwan dan Wati. Dalam bahasa formal juga kita lebih sering menggunakan ibu kan daripada yang lain. Apalagi "ummi" yang jelas Arab banget. Iya iya... saya tau, banyak juga kok kata-kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab. Bahkan ada yang percaya bahwa 9 dari 10 kata dalam bahasa Indoensia adalah asing. Bukan Arab aja sih, ada Sansekerta, Jawa, Belanda, Inggris, Latin, dll. Eh kok jadi bahas ini.
Tapi ya, panggilan "ibu-bapak" itu nggak dapat restu dari suami saya. Suami saya itu juga orang Indonesia, cuma mungkin dia lebih ngerasa modern aja daripada saya (maaf ya suami, itu kesan saya lho). Dia pengen, calon anak kami itu memanggil kami dengan kata "mama" dan "papa". Mungkin itu seperti "mommy dan daddy" bagi orang Amerika. Aih... Dengan berat hati, demi menghormati suami (daripada dia milih dipanggil "om", anak gue bisa jadipertanyaan dong, bapaknya siapa?), saya akhirnya setuju. Toh panggilan itu juga paling banyak digunakan di negara saya ini. Maka ketika anak saya itu lahir, saya mulai mengajarinya memanggil kami dengan kata "mama" dan "papa". Nggak perlu waktu lama juga sih, karena ternyata kata panggilan itu termasuk kata-kata awal yang mampu diucapin bayi.
Awalnya saya nggak masalah. Saya menyebut diri saya dengan kata "mama" di depan bayi saya, dan saya menggunakan kata ganti "papa" untuk suami saya. Tapi... panggilan itu mulai menjadi masalah ketika suami saya mulai belajar manggil saya dengan sebutan "mama" juga. Kok aneh ya. Kok saya ngerasa dia manggil mamanya, meski kami sebenarnya nggak serumah dengan mertua. Iya, dia manggil ibunya juga dengan sebutan "mama". Jadi saya sering kali nggak nengok kalau dipanggil "mama".
asal tau aja, dari zaman pacaran, saya dan suami punya kebiasaan yang nggak sengaja manggil dengan sebutan "sayangku" (Ih, jangan diketawain dong). Tapi menjelang menikah saya memanggil dia "punkku" (juga jangan diketawain), meski dia tetap dengan panggilan awal.
Balik lagi ke panggilan "mama". Merasa risi dengan panggilan itu, bahwa saya bukan mama dia, akhirnya saya minta dia jangan manggil saya dengan sebutan itu. Kalau anak sih tetap ya... Cuma belakangan ini, anak saya yang usianya hampir 4 tahun itu juga ikut-ikutan manggil kami dengan sebutan masing-masing tadi, "sayangku" untuk saya dan "punkku" untuk suami saya. Saya kasih tau dong bahwa panggilan itu cuma berlaku di antara kami, bukan kita (nggak perlu dijelasin ya beda "kami" dan "kita"). Kalau dia tetap harus "mama" dan "papa". Dia nurut sih. Cuma kadang-kadang aja dia ngeledek dengan manggil saya atau suami dengan "sayangku" (yang dia lafalkan dengan "cenggu") dan "punkku". Abis itu, dia ketawa dengan ekspresi isengnya. Nggak masalah sih, asal jangan dipanggil "ummi" aja, ha-ha.
Senin, 06 Juli 2015
Bengkak di Leher Bawah Telinga Kaka
Ibu yang bekerja kayak saya mungkin sering kali luput melihat perubahan yang terjadi pada anaknya. Tapi, hal-hal yang luput itu saya hindari betul, makanya setiap pagi saya usahakan mandiin si Kaka dulu sebelum berangkat kerja. Itu biasanya saya kerjakan setelah memastikan dia beres makan. Lebai juga sih, padahal kan si Kaka bakal minta makan sendiri kalau dia lapar.
Nah, malam itu, tepatnya antara Selasa-Rabu Minggu lalu, saya agak kaget ngeliat lehet Kaka, di bawah telinganya, bengkak. Ini belum pernah saya lihat. Dia waktu itu baru pulang dari hipermarket, dibawa adik saya (agak kesal juga si Kaka di bawa tanpa sepengathuan saya). Tapi perilaku si Kaka nggak berubah, sempat sedikit hangat malam sebelumnya, dan pilek. Pengennya sih langsung bawa si Kaka ke dokter, tapi berhubung sudah malam, saya memutuskan menundanya sampai besok.
Terang ini juga mengganggu konsentrasi banget. Sementara saya browsing. Leher di bawah telinga itu adalah kelenjar getah bening. Itu bengkak bisa jadi karena infeksi kelenjar getah bening, TBC kelenjar, dan yang paling bikin gue takut adalah salah satu yang menandakan adanya kanker. Amit-amit...
Eh tapi, adik saya lalu bercerita. Anaknya yang sekarang kelas 2, naik kelas 3 SD, pernah ngalamin hal serupa. Dibawalah ke dokter, lalu disuruh tes mantuk. Hasilnya negatif. Ponakan saya itu cuma dikasih vitamin penambah stamina dan madu. Setiap hari. Dan bengkak di bawah lehernya pun hilang. Ponakan saya itu sekarang sehat wal afiat, tanpa keluhan apa pun.
Dan keesokan harinya, juga malam, sepulang kerja, saya akhirnya bawa Kaka ke dokter. Dokter di klinik baru dekat rumah, yang mungkin juga bakal jadi langganan saya. Jadi, saya ceritakanlah bagaimana saya menemukan bengkak itu. Lalu Kaka pun diperiksa, suhu badan, dilihat bengkaknya, mulut, dada, punggung, perut. Dan, si dokter ini agak pelit ngomong kalau nggak ditanya. Senyum pun nggak kalahpelitnya. Selama periksa, dia cuma mengerutkan dahi. Saya deg-degan dong, rasanya pengen segera buka otaknya dan baca isinya. Lalu, setelah bolak-balik badan si Kaka, pemeriksaan pun kelar. Nggak sabar saya tanya, "Jadi bengkaknya kenapa dok?"
Si dokter duduk di kursinya. "Ini kelenjar getah bening. Bengkaknya udah berapa lama?"
Saya tahu, itu kelenjar getah bening. "Saya sadarnya kemarin malam dok. Sebelumnya saya nggak lihat."
"Oh... kemungkinan ini infeksi kelenjar getah bening atau TBC kelenjar. Tapi, kalau baru dua hari kemungkinan besar infeksi, karena kalau TBC itu perjalanannya panjang, nggak mungkin cuma dua hari," kata dia.
Lalu saya mencoba meresapi, sambil berdoa. Semoga ini cuma infeksi. "Dia lagi pilek dok. Minggu lalu juga ke sini, demam. Kata dokter yang jaga, amandelnya radang. Ada pengaruh dari situ nggak?" kata saya.
"Iya, saya lihat dari catatannya. Tapi ini sepertinya infeksi, ada kuman masuk. Masuknya bisa dari mana aja, termasuk mulut. Jadi, saya akan kasih antibiotik dan obat batuk. Ini untuk seminggu. Begitu obatnya habis, kembali ke sini. Kalau ini infeksi, akan kempis. Tapi TBC nggak bisa kempis dengan antibiotik ini. Jadi kalau seminggu masih bengkak, sebaiknya dites mantuk," kata dia panjang lebar. mungkin ini penjelasan terpanjang dia malam itu.
"Oke dok."
Saya lalu keluar. Kaka hilir mudik nggak bisa diam seperti biasa. saya menunggu sebentar, lalu dipanggil untuk pembayaran dan pengambilan obat.
Obat itu sudah hampir seminggu diminum. Dan bengkak di leher Kaka hanya berkurang sedikit. Terang ini bikin saya gelisah. Semoga ini bukan kekhawatiran yang berlebihan dari ibu yang lebai kayak saya.
Antara Anak dan Kerjaan
Saya cinta anak saya. Saya juga suka pekerjaan saya, terutama bagian keluar Jakarta. Nggak perlu lah ya dijelasin siapa anak saya itu, dan apa pekerjaan saya. Tapi kadang-kadang ada kontradiksi di anatar dua hal ini. Misalnya, waktu saya harus ke luar kota, anak saya sakit. Terang saya nggak bisa meninggalkan anak saya dalam keadaan sakit.
Pernah juga sih itu saya lakukan. Waktu itu ada ibu saya di rumah, dan itu yang bikin saya memutuskan untuk berangkat. Dan ternyata saya nggak tenangnya minta ampun. Sepanjang masa tugas luar kota itu saya selalu deg-degan. Setiap HP bunyi, jantung saya berdebar kencang, kayak lagi nunggu telepon dari pacar. Mau makan juga nggak nafsu, kayak orang yang lagi jatuh cinta dan cukup kenyang dengan mikirin si dia.
Nah, tugas luar kota saya waktu itu ke Lamandau, sebuah kabupaten muda yang namanya cuma saya kenal dari nama sebuah jalan di daerah Kebayoran Baru. Kabupaten itu adanya di Kalimantan Tengah. Agak terpencil sih. Dan karena terpencil, sinyal HP sering kali hilang. Itu juga yang bikin saya deg-degan. Bukan karena saya orang penting yang harus selalu bisa dihubungi. Tapi kan anak saya lagi sakit. Bagaimana kalau ada hal penting yang harus segera disampaikan ke saya? Atau anak saya ini tiba-tiba pengen ngomong sama saya?
Tapi pernah juga itu saya tolak. Waktu itu tujuannya ke Teluk Wondama, Papua. Whuii... saya pengen banget ke sana, meski dulu banget udah pernah nginjak Papua. Tapi Teluk Wondama kan lain. Itu daerah keren banget. Kata orang yang pernah ke sana, itu nyaris setara dengan Raja Ampat lah, meski saya juga belum pernah ke Raja Ampat. Pasti eksotis banget. Apalagi denger perjalanannya ke sana yang mesti naik peswat kecil berkapasitas belasan orang aja. Yang katanya kalau di atas suka matiin mesin dan ngikut arah angin aja. Yang katanya ada alternatif naik kapal laut seharian. Yang katanya ongkosnya jadi mahal banget.
Pernah juga saya nolak ke NTB, yang ada kunjungan ke Lombok. Biar kata saya udah pernah nginjak ujung barat dan ujung timur Indonesia, Lombok ini belum pernah saya datangi. ini lagi-lagi karena anak saya sakit. Waktu itu kebetulan saya juga baru sehat sih. Tapi itu bukan halangan. Kalau saja anak saya sehat, pastilah saya hajar juga tuh tuga Lombok. Pengen juga dong ikut merayakan tempat yang banyak didatangin wisatawan itu. Jadi kalau lagi ngumpul sama temen-temen, dan ditanya, "Udah pernah ke Lombok?" saya bisa bilang, "Udah." Ya, soalnya temen-temen saya kan nggak mungkin nanya, "Udah pernah ke Lamandau?" "Udah pernah ke Tanjung Jabung Barat?" "Udah pernah ke Luwu Timur"
Tapi ya, yang paling fenomenal itu adalah, menolak tugas karena larang suami. Wuih... ini nih sakit banget buat saya. Ini artinya suami nggak ngehargain kerjaan saya. Kerjaan yang dari udah saya lakonin bahkan sebelum ketemu dia. Kerjaan yang saya suka ini. Kerjaan yang kalau nggak saya lakonin, saya bingung mau kerja apa lagi. Lho, kok tiba-tiba bahas ini? Ya karena ini juga suka pake alasan anak. Mungkin sih sebenernya gengsi aja, dia nggak pengen kehilangan saya meski cuma beberapa malam.
Oke, ini kayaknya perlu dibahas panjang. Sekalian curhat. Soal kerjaan dan suami. Dulu... banget, cita-cita ideal saya tentang keluarga adalah punya keluarga yang saling menghormati. Ngehormatin privasi saya, keluarga besar saya, kerjaan saya, teman-teman saya, dan semua orang yang telah berlaku baik pada saya. Saya juga pengen punya keluarga yang nggak banyak ngelarang saya melakukan sesuatu yang saya sukai, selama itu baik. Soal baik dan buruk, hei.. saya kan udah tua. saya pasti tau mana yang layak dikerjakan dan nggak. Meski pernah juga kecolongan, misalnya ninggalin anak sakit buat ke luar kota (ini pasti saya punya pertimbangan sendiri).
Lalu, saya berpikir, kalau ada suami yang melarang istrinya melakukan hal yang disukai, kasihan sekali istri itu. Bayangin ya, waktu gadis, dia dilarang melakukan banyak hal yang dia sukai sama orangtuanya. Wajar, orangtua tentu khawatir anak yang dibesarkannya kenapa-kenapa. Nah, pas udah tua, masih dilarang pula sama suami. Kapan si istri ini bisa melakukan yang dia suka tanpa larangan? Alasan si suami mungkin juga khawatir. Oke masih bisa diterima, bisa jadi dia emang cinta. Tapi... kalau ysuami ngerang karena khawatir, tapi khawatirnya bukan istri kenapa-napa, melainkan khawatir karena cemburu. Wuihhh... sakit. Artinya apa sodara-sodara? si suami nggak percaya sama istri. Kenapa juga dulu dikawinin?
Oke kembali ke anak. Jadi, sekarang ini anak saya dalam keadaan nggak sehat. eski dibilang nggak sakit juga sih. Ada infeksi di kelenjar getah beningnya. Dia harus minum antibiotik dua kali sehari, dengan ukuran yang saya percaya hanya saya yang bisa memberinya. Makanya saya harus pulang cepat terus, bukan cepat sih, tapi on time. Tinggal sehari lagi. Tapi untung saja, selama anak saya sakit, nggak ada penugasan luar kota yang psti bakal bikin saya bimbang.
Eh, kok saya ngerasa postingan ini bukan soal anak dan kerjaan ya? Tapi soal suami dan kerjaan. Tapi, soal anak dan kerjaan ini pastilah jadi dilema semua ibu, ibu yang memang menginginkan anak itu, seperti saya.
Langganan:
Postingan (Atom)