Dia meletakkan telepon genggamnya di atas meja. Matanya berair. “Kami putus,” katanya.
Saya diam tak berkomentar, saya sudah tahu apa yang akan ia katakan.
“Ibu Hasbi menangis, entah karena suaminya yang masih di rumah sakit, entah karena kecewa padaku,” kata Ida, sebulan lalu, usai diajak berkunjung ke rumah kekasihnya.
Berita tentang Ida yang berpacaran dengan Hasbi itu santer di kalangan keluarga Hasbi. Ayah Hasbi pernah berkata, “Langsung lamar saja. Dia tetangga Daeng Aji ini.” Hanya saja, seorang anggota keluarga lainnay tidak setuju. “Selidiki dulu,” kata yang tidak setuju itu. Inilah hasil penyelidikan itu, lamaran itu batal. Ida dan Hasbi harus putus.
Ida pernah diajak ke rumah Hasbi. Hampir seharian ia di sana hanya untuk ditanya-tanyai siapa ibunya, siapa neneknya, dan siapa ayah atau ibu neneknya. Akh, saya pun tidak tahu siapa ibu atau bapak nenek saya.
“Aku pernah bilang ke ibuku, keluarga Hasbi mau datang melamar,” kata Ida. “Itu dulu, waktu identitasku baru diketahui sebatas tetanggamu di Lampung.”
Percintaan Ida dengan Hasbi seperti sebuah malapetaka bagi keluarga Hasbi. Saya tahu, karena saya adalah bagian dari keluarga besar Hasbi, yang saya sendiri tidak pernah tahu persis bagaimana jejaring silsilah itu terhubung. Tapi buat keluarga Ida, ini adalah anugerah. Bagaimana tidak, anak perawan mereka segera dilamar, oleh seseorang dari Jakarta pula.
**
Seminggu setelah kunjungan Ida ke rumah Hasbi itu, giliran saya dan ibu saya yang datang. Niat kami hanya berkunjung, menjenguk ayah Hasbi yang kami dengar sakit. Entah bagaimana ceritanya, pembicaraan itu samapi juga ke rencana pernikahan Hasbi dan Ida. Ibu Hasbi menangis. “Awwwe....kalau keluarga di Jakarta mungkin tidak apa-apa, tapi bagaimana kalau keluarga di Bugis dengar? Apa yang bisa saya bilang?” begitu Ibu Hasbi mengeluh.
Ibu saya hanya diam, apalagi saya. Ida, kekasih Hasbi itu, adalah tetangga ibu saya di kampung yang mayoritas diisi orang Bugis yang masih bersaudara itu. Ayahnya seorang asing di kampung kami, tapi sudah kami anggap saudara. Dia senang menolong keluarga saya, entah hanya untuk memasang lampu atau sekadar membetulkan letak genteng. “Dia sudah dianggap keluarga di rumah ini karena yang membawanya ke sini adalah kakek kamu,” begitu ibu saya bercerita tentang ayah Ida.
Asal-usul ayah Ida memang tidak jelas. Ada yang bilang, ia adalah seorang pelarian dari Timor Timur. Ada jug ayang mengatakan bahwa ia adalah tahanan politik di daerahnya. Akh, saya benar-benar tidak peduli, tokh saya tidak berteman dengan orangtua berkulit hitam dan berambut keriting itu, saya berteman dengan anaknya, yang kulitnya hitam tapi berambut lurus, Ida.
“Bukan ayahnya yang jadi masalah, tapi nenek moyang ibunya,” kata ibu saya.
“Kenapa? Mereka kan jadi tetangga kita sudah dari zaman kakek,”
Ibu saya tersenyum. “Iya, makanya Ibu tau kenapa ibunya jadi masalah.”
**
Ibu Ida itu bernama Lebe. Di antara keluarganya yang lain, ia dianggap beruntung karena menikah dengan orang asing. Setidaknya, itu menaikkan derajat keluarga. “Ida itu cicit Manik, Lebe adalah cucu Manik,” kata ibu saya. Saya mencoba mencerna penjelasan sepotong-sepotong ibu saya itu. Lantas ada apa dengan Manik?
“Dulu, kata nenek, kalau ada orang-orang berkumpul, yang lain duduk di kursi, Manik tidak pernah mau duduk di kursi juga. Ia selalu duduk di bawah, di lantai, sendiri pun tidak apa-apa. Ia pernah mencoba duduk sejajar, tapi kursinya tiba-tiba terbalik,” Ibu saya menarik nafas. “Orang tua kita masih kuno. Dalam struktur masyarakat Bugis kuno, ada juga kasta-kastaan. Bangsawan punya gelar Andi, orang biasa dipanggil Daeng untuk yang masih muda, dan Fuang untuk yang orangtua. Dan goolongan yang terakhir adalah ata, orang ata ini di zaman dahulu kerjanya sebagai pelayan, mungkin budak.”
Tidak perlu berpikir lama untuk menangkap isi cerita ibu saya. “Seperti novel Oka Rusmini,” kata saya.
Cerita Ida dan Hasbi bukan lagi permasalahan baru. Mereka bukan Romeo dan Juliet, tapi karakter-karkater di Tarian Bumi, atau mungkin Kenanga. Seorang perempuan sudra menikah dengan seorang laki-laki yang tidak bisa apa-apa, kecuali mabuk-mabukan dan main perempuan, hanya karena laki-laki itu berkasta Brahmana. Salahnya, perempuan itu baru menyadari kesalahannya ketika anaknya sudah besar, dan hanya bisa berpesan, “Kelak, kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang kau simpan. Apa untungnya laki-laki itu bagimu? Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sebuah sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih.”
Tapi, saya yakin, Ida bukanlah perempuan seperti di novel itu. Baiklah dia memang ingin segera menikah, atas tuntutan sosial, atau mungkin kebutuhan. Tapi dia benar-benar mencintai Hasbi.
“Lagi pula, kakek Ida kan Fuang. Bukannya orang bugis juga patrilineal?” saya memrotes, seharusnya protes saya itu bukan ke ibu saya karena ibu saya itu pun produk masyarakat yang krisis identitas. Meskipun ayah dan ibunya berdarah Bugis 100%, ia lahir dan dibesarkan di Palembang, menghabiskan masa remajanya di Jakarta, dan berkeluarga di sebuah wilayah multikultural di Lampung. Ia nyaris tidak petnah menginjak tanah Bugis seandainya usai pernikahan adik saya dua tahun lalu ayah saya tidak mengajaknya. Kalau ditanya, mungkin ia akan lebih mengetahui bagaimana caranya membuat pempek dibandingkan dengan membuat burasa, penganan khas Bugis dari beras dan santan kelapa yang dibungkus dengan daun pisang.
“Iya, tapi ingat, nenek Ida itu anak tetap anak Manik, ” katanya.
Saya pernah mendengar cerita tragis nenek dan kakek Ida yang dipanggil Fuang itu. Saya masih kecil ketika itu, belum mengerti kenapa nama kakek ida itu begitu aneh. Fuang. Sampai besar, saya baru tahu bahwa Fuang itu sebenanrnya hanya panggilan. Tapi tokh tetap saja nama aslinya tidak banyak yang tahu.
Konon, Fuang lama menghilang. Belasan tahun kemudian, tiba-tiba ia muncul dengan empat anak, semua masih kecil-kecil. Selama menghilang, ia menetap dan menikah lagi di Kalimantan. Istrinya kemudian meninggal dunia. Syukur juga ia masih mengingat istrinya di Lampung, jadi empat anak hasil pernikahan keduanya itu bisa ia bawa ke istri tuanya. Dan bersyukur juga ia patutnya, istrinya itu mau menerima ia kembali, lengkap dengan empat anak tirinya. Salah satu anak tirinya itu kemudia menikah dengan sepupu ibu saya, dan akhirnya kami pun bersaudara. “Panggil saya Fuang,” begitu kata anak perempuan Fuang yang menikah dengan saudara saya itu ketika memperkenalkan diri kepada saya, dan saudara-saudara saya yang masih kecil-kecil juga. Ketika itu saya hanya terbengong. “Perempuan kok minta dipanggil Fuang?” begitu pikiran saya ketika itu. Sepengatahuan saya, Fuang adalah nama untuk laki-laki, sama seperti Abdullah, Bambang, atau Anwar. Akh, mungkin berbekal nama Fuang maka laki-laki yang menghilang belasan tahun dan menikah lagi di Kalimantan itu diterima kembali di keluarga besar kampung itu.
“Dan keluarga kita hanya mengenal Manik, tidak tahu siapa itu Fuang, atau siapa itu Udin. Nanti kalau ada yang nanya, siapa yang dikawinin Hasbi? Jawabannya pasti anak-cucu Manik,” suara ibu saya kembali.
“Kasihan Ida. Bukan mau dia terlahir sebagai anak-cucu Manik,” saya berkomentar klise.
Ibu saya hanya tersenyum. “Makanya, mendingan sama orang Jawa sekalian.”
**
“Jangan bilang-bilang ke ibuku, ya. Biar aja dia taunya aku putus memang karena tidak cocok, bukan karena tidak disetujui,” kata Ida.
Tak ada lagi air mata yang tergenang itu. “Saya tetap mencintai keluarga saya, leluhur saya, biarpun ia seorang Manik.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar