Rabu, 04 April 2018

ASI dan Perjuangannya

Siapa bilang ASI itu gratis? Buat ibu-ibu yang tinggal di kota besar kayak gue, yang bekerja kayak gue, yang kulitnya sensitif kayak gue, ASI itu sama sekali nggak gratis. Iya, memang, biaya yang dikeluarin buat dapat ASI itu nggak semahal kalau beli sufor. Apalgi kalo sufornya yang pake embel-embel "royal", "plus", "gold", "platinum" dll.

Gue ibu ASI yang mulai ngASI sejak anak kedua gue, Daya, berusia tiga hari. Kenapa tiga hari? ya karena ASI gue baru keluar setelah tiga hari itu. Mungkin sebelum-sebelumnya ada, tapi cuma cukup buat ngebasahin bibir anak gue doang, nggak sampe ke tenggorokan, apalagi ke perut.

(dilanjutkan setelah setahun kemudian)

Sekarang, si little miss ini udah nyaris dua tahun. usianya sudah 23 bulan 10 hari. Dan sampai saatini dia masih ASI. Sesekali dia ikutan minum uht rasa cokelat punya kakaknya. Itu kalau dia lihat kakaknya lagi minum susu, dia minta juga. Masak iya nggak dikasih.

Perjalanan sampai ke sini nih nggak mulus. Ada kalanya tiba-tiba ASI gue seret. Di usianya belums etahun dulu, pernah tiba-tiba sekali mompa, kiri kanan, cuma dapat 40 mili. Itu untuk renang 3-4 jam. Kalau udah begini, saya panik. Dan di ruang laktasi kantor, ada aja ibu yang punya masalah sama. Biasanya kita cari sokusi bareng-bareng. Kadang-kadang beli booster ASI yang bentuknya susu, jamu yang rasanya tidak manusiawi, jus daun bangun-bangun, dan terakhir gadoin daun katuk. Tapi tetap aja, kami percaya, booster ASI yang paling mujarab itu menyenangkan diri sendiri dengan cara: BELANJA. Belanjany apun beda-beda. Ada yang beli lipstik aja udah senang, beli baju, kerudung, atau sepatu. Eh tapi ada juga lho yang jadiin snack berlumur micin sebagai boosternya.

Salah satu tantangan selama nga-ASI adalah liputan luar kota. Selama ini sih saya minta, penugasan luar kota saya cukup satu malam. Tapi pernah juga sampai 3 malam. Ini ASI-nya mau diapain. Pumping kan tetap harus, supaya payudara tetap nyaman, nggak bengkak apalagi nyeri. Supaya stok ASI di freezer rumah juga nggak tekor-tekor amat karena pasti besar pasat daripada tiang. Biasanya, modal saya keluar kota adalah pompa asi tentu harus, kantong ASI (botol kaca nggak praktis), dua cooler bag, dan ice gel yang saya rasa cukup. dua coolerbag sebenarnya nggak cukup. Sempat juga lho, pompaan hari pertama saya buang karena nggak muat.

Untungnya selama saya liputan luar kota, tidurnya di hotel yang cukup bagus. Mereka bisa dititipin ASI berhari-hari. Tapi gaya mereka naro ASI pun beda-beda. Ada yang langsung taro di freezer. Ada yang di pendingin aja, termasuk ice gelnya. Lhaaa.... itu ice gel gue jadinya nggak beku. Ada hotel yang ASI-nya mesti diantar sendiri, ada juga yang puny alayanan ambil ASI di kamar.

Oh ya, saya juga sempat buang ASI. Jadi di bulan-bulan pertama, saya pakai dua kulkas. Satu kulkas 1 pintu (kulkas lama) dan satu lagi kulkas dua pintu yang memang saya beli menjelang melahirkan, rencananya memang buat nyimpen ASI. Nah, di kulkas 1 pintulah yang banyak saya buang karena freezernya kepenuhan. Selain itu, freezer kulkas 1 pintu itu nggak bagus-bagus amat. masih ada bunga esnya. maka saya khawatir juga itu mempengaruhi kualitas ASI.

Oh ya, alhamdulillah ASI saya untuk little miss ini cukup. Bahkan saya punya anak susuan, Beyza namanya. Beyza itu anak tetangga yang usianya lebih muda sekitar 2 bulan dari little miss. Dulu, katanya dia suka sakit, disarankan dokter mengkonsumsi ASI dan disuruh berhenti sufor. Tapi ibunya tak lagi punya ASI. Panjanglah ceritanya. Dan gue dengar banyak cerita di balik itu. Setiap pagi, sebelum saya berangkat kerja, mbaknya Beyza datang ke rumah. Ambil ASI. Awalnya, bisa 5 botol ASI yang dibawa pulang setiap hari. tapi terakhir sehari satu aja. Sampai akhirnya dia udah lebih dari enam bulan. Gue lupa detailnya, kayaknya dia minta ASI sampai usia satu tahun, tapi nggak tiap hari juga.

Pompa ASI pun saya sempat gonta ganti. Awalnya pake Avent manual. Alamak... kerasnya. Pegal tangan ini pakenya. Lallu ganti medela, manual juga (anak pertama dulu pun gue pake ini). Enak sih, dan lebih cepat. Tapi saya tertarik dengan pompa elektrik yang lagi tren. Jadilah gue beli yang kecil, murah, dan cukup efisein. Spectra Q. Dan itu saya pakai sampai sekarang.

Bagaimana dengan frekuensi mompa? Dalam sehari gue bisa 3 kali mompa. Sampe kantor jam 11-an, ketja sebentar, lalu mompa. Pukul 15.00 mompa lagi. lalu mau pulang, pukul 17.00 mompa lagi. Sekarang sih cukup sekali aja. Mau pulang atau sekitar pukul 16.00.







Senin, 18 April 2016

Jauh Kepala dari Panggul

Siapa bilang kepala itu letaknya dekat panggul? Anak kecil juga tau kepala itu jauh dari panggul. Jauh banget malah, satu di atas, satu di tengah, mesti ngelewatin leher, pundak, dada, dan perut dulu. Tapi kalo kepala yang ini mesti deket dengan panggul: kepala dedek bayi. Iya, di usai kandungan saya yang masuk 38 minggu ini, mestinya kepala janin udah masuk panggul. Tapi hasil periksa terakhir di HGA, Sabtu, 16 April, kemarin, boro-boro masuk panggul. "Ini panggul... ini kepalanya. Ini masih jauh dari lubang panggul," kata dr Iwan Herryawan, SpOG, sambil gerak-gerakin mouse alat usg.

Ini artinya apa? Saya harus kembali melahirkan secara sesar. Dr Iwan lalu menganalisis sejarah persalinan pertama saya yang juga sesar. Dia sudah menduga bahwa tulang panggul saya sempit. Itu diperjelas dari cerita saya bahwa ketika melahirkan, meski sudah belasan jam pembukaan, di dedek (Kaka maksudnya) nggak mau juga turun.

Kali ini, ada tambahan lilitan tali pusar satu kali. Sebenarnya sih lilitan nggak terlalu bahaya juga buat orang yang mau melahirkan secara normal. Apalagi cuma satu kali. Kata adik sepupu saya yang dokter itu, banyak kok kasus melahirkan normal dengan satu lilitan. Ketika kepala si bayi muncul dari jalannya, tenaga medis, bidan atau dokter, langsung membebaskan leher si bayi dari lilitan meski badannya belum keluar semua.

"Oke, kita jadwalin aja ya. Tanggal 21 April, Kamis," katanya. Tanggalnya bagus sih, pas Hari Kartini. Tapi kan....
"Wah, saya nggak bisa tanggal segitu, dok. Ada acara kawinan adik tanggal 24 April."
"Wah, 24 April. Oke, kita jadwalin sesudahnya, tanggal 25 April ya, Senin," kata si dokter, pake logat Sunda.
"Oke dok."
"Mudah-mudahan nggak mules ya pas di acara kawinan. Kalo mules duluan, repot ini...." katanya sambil senyum.
Lalu si dokter mengambil ponselnya, mencatat di agenda bahwa hari itu harus menolong saya bersalin.

Dr Iwan ini adalah dokter second opinion gue, alias dokter gue yang kedua. Konsul ke dokter ini baru dua kali sih sama kemarin, cuma pengen tau aja, apakah pendapat dia dengan dokter pertama saya, dr Samson, sama.

Sekadar kilas balik ke belakang, sebulan lalu. Dr Samson, yang juga udah tau riwayat persalinan saya, sempat menyarankan sesar. "Kalau mau sesar, empat minggu lagi sudah bisa," katanya. Waktu itu sekitar 18-19 Maret. Artinya, harusnya sekarang udah melahirkan.

Tapi gue buru-buru berkomentar. "Emang saya nggak bisa melahirkan normal, ya, dok?"

Di dokter senyum. "Mau coba normal? Oke ya, kita coba."

Nah, si dokter kayaknya nggak yakin, tapi masih mau menuhin permintaan gue. Ketika terakhir konsul sama dr Samson, minggu lalu, gue sempet nanya, orang kecil kayak gue, tulang panggulnya selalu sempit nggak?

Si dokter Samson cuma senyum. "Kenapa? Mulai ragu sama persalinan normal?"

Ya sih. Keraguan ini muncul setelah ketemu sama dr Junita di RSCM Kencana. Dia langsung nebak bahwa persalinan anak pertama saya sesar. Lalu nanya tinggi badan saya, yang malu-malu akhirnya saya sebut juga. "Emang kenapa do? Karena orang kecil kayak saya biasanya panggulnya sempit, ya?" Dia mengiyakan, sambil senyum. Ahai... ini kode?

Tapi soal kepala jauh dari panggul ini, gue masih mau usaha. Senam, nungging, dan banyak jalan mungkin bisa jadi mak comblang yang mendekatkan kedua organ dari dua makhluk yang berbeda ini. Dua hari ini gue udah mulai nungging, yang kalau di senam hamil disebutnya gerakan antisungsang. Kalau jalan, tiap hari juga gue banyak jalan. Cuma kalau maul ebih banyak jalan lagi, mungkin mal adalah jawabannya heueheue...

Dan jangan lupa... banyak-banyakin berdoa, dan minta didoain sama orang tua.



Jumat, 15 April 2016

Kontrol ke Dokter Kandungan Pakai BPJS Kesehatan

Dua pekan lalu, saya akhirnya memanfaatkan fasilitas kontrol ke dokter kandungan BPJS Kesehatan. Saya pilih RS Hasanah Graha Afiah yang lebih dikenal inisialnya, HGA. Saya pilih RS ini atas rekomendasi teman yang sekitar empat bulan lalu melahirkan di sana dengan fasilitas ini juga. Lagi pula, anak pertama saya juag dilahirkan di situ. Jadi meski agak jauh dari rumah, saya merasa lebih nyaman aja.

Jalan menuju HGA dengan BPJS ini agak lumayan panjang. Saya ngikutin prosedur, ke klinik faskes tingkat pertama, yaitu Azzahra yang di RTM itu, untuk minta rujukan. Persoalannya adalah, saya belum pernah pakai kartu BPJS saya, jadi saya nggak bisa minta diagnosis dari bidan jejaring klinik itu. Pernah sih saya coba, tapi saya ditolak sama bidan Dian Sokib. Alasannya karena saya nggak periksa dari awal. Padahal sih ya, kalau bidannya itu emang bidan baik-baik, dia nggak boleh nolak. Eh, ini si bidan malah curhat, nggak dibayarlah, kalaupun dibayar kecil bangetlah... halah....

Akhirnya saya periksa di bidan puskesmas di Depok II untuk minta rujukan ke dokter. Saya sih yakin aja bakal dapet karena sejarah melahirkan pertama sesar. Kata si bidan, pasien BPJS bisa dirujuk ke rumah sakit di usia kandungan 35 minggu. Apalagi kalau si pasien itu pernah sesar. Lancarlah jalannya. Eh tapi nggak selancar itu juga. Ternyata bidan di puskesmas ini cuma bisa ngasih diagnosis bahwa saya ada indikasi melahirkan sesar lagi. Dia nggak bisa ngasih rujukan karena puskes itu bukan faskes tingkat pertama saya. Meski udah dapat diagnosis, saya tetap harus ke Azzahra untuk minta rujukan.

Maka, bermodal selembar kertas itu, datanglah saya ke Azzahra. Setelah nyerahin diagnosisnya, kartu saya diperiksa, aktif atau tidak. Lalu, ditanya, mau ke rumah sakit mana. Meski udah ada diagnosis dari bidan, saya tetap diperiksa dokter umum yang praktek di sana. Nggak dipetiksa sih, cuma ditanya-tanya, kenapa saya sesar dll.

Dari klinik itu, saya ke HGA. Di RS ini, nggak semua dokter kandungan melayani BPJS. Ada beberapa dokter yang membatasi pasien BPJS-nya, misalnya 5 pasien aja per hari. Saya pun nggak bisa milih dokter. Ketika saya nelp untuk daftar, saya disaranin ke dr Rizal Gani karena pasien BPJS-nya nggak dibatasi. Sayangnya, di RS ini pasien BPJS nggak bisa daftar lewat telp, harus datang langsung. Saya disaranin datang jam 5 karena di sokter mulai praktik jam 6 sore.

Dari kantor, saya pun melaju dengan kereta ke Depok Lama. Dari situ naik ojek ke HGA. Tepat jam lima sampai di sana, langsung mendaftar. Nggak susah, di resepsionis ada pelayanan khusus untuk pasien BPJS. dari situ, saya disuruh ke meja pelayanan BPJS untuk daftar ke dokternya. Hari itu, Kamis, ada tiga SpOG yang praktik, dr Rizal, dr Iwan, dan dr Dewi. Dr Dewi ini nggak terima pasien BPJS. Dr Iwan pasien BPJS-nya dibatasi hanya 4. Dan saya pun mendaftar ke dr Rizal. Modalnya, fotokopi kartu BPJS dan surat rujukan dari faskes tingkat pertama, juga KTP. Setelah selesai proses pendaftaran, saya disuruh nunggu.

Setelah nunggu, saya dapat kabar buruk. si dokter nggak bisa praktik karena ada tindakan. Saya dikasih pilihan ke hari lain, tapi saya tolak. Saya minta ganti dokter aja kalau bisa. Dan ketidakhadiran dr Rizal ini mengantarkan saya ke dr Iwan Heryawan, SpOG. Ternyata masih ada slot satu pasien BPJS lagi yang kosong. Huhuhuu.. rezeki mama soleh.

Dr Iwan ini nggak begitu asing buat saya. Saya memang belum pernah jadi pasien dia, tapi dulu, waktu melahirkan Kaka, ada teman seperjuangan yang ditangani dia. Jadi meski nggak kenal, saya ngerasa kenal aja. Dokter ini udah agak senior, perawakannya kurus tinggi, rambut sebagian abu-abu, dan ramah. Hal yang bikin saya inget adalah, dia nanya, "Dulu kamu ditangani dr Maman ya?" Agak kaget juga sih, soalnya di pendaftaran, pas ditanya, saya bilang belum pernah jadi pasien di sini haha. Tapi data nggak bisa bohong ya.

Dokter ini cukup baik ngejelasinnya. Ketika periksa kandungan saya melalui usg, dia juga ngejelasin. Bahwa anaknya perempuan, sehat, beratnya 2,7 kg. Ha? 2,7? beda sungguh sama dr Samson yang seminggu kemudian mengatakan beratnya baru 2,3 kg. Tapi ya sudahlah. Yang bikin saya kaget juga, HPL saya jadi maju. Kalau di dr Samson dibilang 2/3 Mei, di sini dibilang 27 April. Nah lho.... Tapi yang jadi fokus saya adalah, saya bisa melahirkan normal nggak? "Kita lihat dua minggu lagi, ya" kata si dokter. Di akhir pertemuan ini, dia kasih selembar kertas yang bisa jd paspor untuk pemeriksaan berikutnya. Saya nggak dikasih vitamin, USG juga nggak dicetak. Harusnya sih, kemarin atau hari ini saya kembali kontrol. Tapi perjuangan untuk ketemu dr Iwan ini agak susah ya. Saya mesti datang langsung ke HGA untuk daftar, dan saya mesti bersaing dengan pasien BPJS lain untuk mengisi 4-5 jatah pasien setiap harinya.




Bayi Sesak karena Minum Ketuban

Ini kisah sedih bump buddy saya, sebut saja namanya Mei. Sabtu, 9 April 2016 lalu, dia akhirnya melahirkan bayinya di RS Sentra Medika Depok melalui jalan tol alias sectio caesaria atau sesar. Sebenarnya dia pengen banget lahiran normal, makanya dia rajin senam di Mitra Keluarga. Saya pun jadi ikut-ikutan senam, padahal saya sendiri agak pesimis bisa melahirkan secara normal mengingat postur tubuh yang mungil sangat, juga sejarah melahirkan anak pertama yang juga sesar. Kembali ke Mei, apa daya, dokter akhirnya menyarankan Mei untuk sesar, dan ternyata itu pilihan yang terbaik.

Kenapa saya bilang terbaik? Kehamilan Mei waktu itu sudah masuk 40 minggu. HPL-nya waktu itu sekitar awal April, tapi bisa menunggu sampai 13 April kalau mau melahirkan normal. Tapi sampai saat itu, belum ada tanda-tanda akan segera melahirkan. Kontraksi nggak ada, bahkan yang palsu pun enggan datang. Padahal, pemeriksaan terakhir seminggu sebelumnya, kondisi ibu dan bayi siap untuk partus normal. Bayi sehat, sudah masuk ke panggul, dengan berat 2,7 kg. Nggak besar, tapi itu lebih dari cukup untuk lahir. Kondisi kesehatan ibunya juga baik, nggak menderita darah tinggi, asma, atau penyakit lain yang menjadi risiko sesar.

Tapi, seminggu sebelum melahirkan, dia memang mengeluh, celana dalamnya selalu basah. Seperti pipis, tapi bukan pipis. Keputihan pun bukan karena tidak kental atau berlendir. Dalam sebulan ini, berat badan dia dan bayinya pun nyaris tidak naik. Nah, ketika tiba jadwal kontrol mingguan, Jumat, 8 April, dokternya kaget ketika di usg, terlihat air ketubannya tinggal sedikit. Nah lho... Akhirnya dokter menyarankan agar bayinya segera dilahirkan, bagaimanapun caranya. Malam itu juga, atau besok malam. Tak lagi bisa menunggu sampai Senin.

Ada dua opsi melahirkan yang bisa ditempuh, induksi atau sesar. Karena induksi risiko gagalnya masih besar, maka sesar pun dipilih. Waktunya dalah besok malam.

Tibalah hari yang dinanti. Ditemani ibu dan dua adiknya yang laki-laki, berangkatlah Mei ke RS. Dia dapat jadwal jam 10 malam. Sampai jam segitu, dia terus mengabari lewat WA. Tengah malam, dia pun mengabari bahwa operasinya lancar. "Tapi bayinya kecil mbak, cuma 2,3 kg. Terus pas baru lahir dia sesak. Makanya sekarang masuk NICU," begitu kira-kira kalimatnya. Agak heran juga sih, kok bayi 2,7 kg bisa keluar 2,3 kg. Itu artinya beratnya di bawah standar 2,5 kg. Salahnya di mana? Masak iya bayinya diet di dalam sana.

Sebenarnya bukan karena bayinya kecil maka dia harus dirawat di NICU. Anak adik saya pun kecil, bahkan yang pertama cuma 2 kg. Tapi karena sehat, nggak sampai harus di NICU. Nah, bayi bump buddy saya ini ternyata punya masalah lain. Sesak napas ini dicurigai karena ia minum air ketuban sehingga paru-parunya terinfeksi. Inilah yang patut diwaspadai, mengingat air ketubah yang sudah kering dan berwarna pekat. Karena kecurigaan itu si bayi harus tetap di NICU, bahkan ketika ibunya akhirnya pulang setelah empat hari dirawat.

Tapi, konon, kini si bayi sudah baikan. Perawatan tidak lagi dilakukan di NICU, tapi di Perina. Semoga cepat sehat ya, Nak.

Jumat, 18 Maret 2016

Berapa Sih Biaya Melahirkan di Seputaran Depok?

Mungkin gue termasuk emak yang galau. Apalagi soal melahirkan yang makan biaya banyak. Apalagi kemungkinan besar gue kembali melahirkan secara sesar, kayak anak pertama. Tapi ya... karena waktu yang memisahkan anak pertama dan kedua udah lebih dari 3 tahun, konon bisa normal. Tapi enah kenapa, gue tetap aja deg-deg-an.

Karena kegalauan gue ini, sampe sekarang gue belum tau mau melahirkan di mana, padahal udah masuk semester ketiga lho, tepatnya 33 minggu. HPL gue sekitar 2 Mei 2016. Nah lho! Kalau emak-emak lain mungkin udah mantap, ngikutin tempat dia kontrol rutin atau dokternya. Nah, kegalauan gue ini juga yang mengantarkan gue keliling Depok buat survei biaya lahiran di beberapa rumah sakit. Dan ternyata survei ini nggak menyelesaikan masalah, gue tambah galau.

Karena gue nggak mau galau sendiri, maka gue akan berbagi hasil survei ini. Dan karena yang bikin gue deg-deg-an adalah SC, maka gue lupa ngintip biaya persalinan normal di beberapa rumah sakit. Ini dia hasilnya
1. RS Hermina Depok
Jl. Raya Siliwangi No. 50 Pancoran Mas, Depok. Telp. 021-77202525

Persalinan Normal
- Suite Room Rp 20.054.000
- SVIP Rp 16.882.500
- VIP Rp 15.319.000
- Kelas I Rp 11.039.750
- Kelas II Rp 8.456.000
- Kelas IIA Rp 7.982.000
- Kelas III Rp 6.401.500


Sectio Caesaria
- Suite Room Rp 35.128.200
- SVIP Rp 30.195.400
- VIP Rp 27.936.600
- Kelas I Rp 22.641.800
- Kelas II Rp 18.130.000
- Kelas IIA Rp 17.340.000
- Kelas III Rp 13.776.700
Tarifnya konon masih bisa berubah-ubah. Dan itu belum termasuk biaya administrasi 7 persen, tarif visite dokter, pemeriksaan laboratorium dan penunjang medis lainnya, biaya obat-obatan yang diresepkan. Artinya, biayanya lebih mahal dari yang tercantum di atas....
Oh ya, rumah sakit ini nerima pasien BPJS juga.

2. Hasanah Graha Afiah (HGA)
Jl. Raden Saleh No.42 (Studio Alam TVRI) Depok. Telp. 021-77826267
Nah, kalo tarif di rumah sakit yang terletak di daerah Raden Saleh (deket SMA 3 dan Studio Alam TVRI) ini agak lengkap. Gue nggak ke sana, cuma minta kirimin list tarifnya sama salah satu kenalan yang bekerja di sana. RS ini juga terima pasien BPJS.

Persalinan Normal
- VVIP Rp 13.963.500
- VIP Deluxe Rp 12.379.900
- VIP Rp 11.384.800
- Kelas I Rp 8.431.600
- Kelas 2 Rp 6.516.300
- Kelas 3 Rp 5.061.100

Sectio Caesaria
- VVIP Rp 25.792.350
- VIP Deluxe Rp 23.122.700
- VIP Rp 20.913.150
- Kelas I Rp 16.873.900
- Kelas 2 Rp 13.605.050
- Kelas 3 Rp 11.342.000

3. Mitra Keluarga Depok
Jl. Margonda Raya Pancoranmas, Depok Telp. 021-77210700, 77210800 (Depan terminal/ITC Depok).
Satu hal yang menarik di sini adalah program promo paket persaliannya yang berlaku sampai akhir Desember 2016 ini. Tapi promo ini hanya berlaku untuk kelas III ya. Sayarat dan ketentuan berlaku (misal, untuk persalinan normal tanpa induksi dan sesar bukan tengah malam). Harga promo paket ini:
- Persalinan normal Rp 4.700.000
- Sectio Caesaria Rp 11.500.000
Itu udah termasuk biaya kamar, dokter dll.

Kalau mau tarif normal, ini dia

Partus Normal
- SVIP Rp 7.250.000
Rp 9.370.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 11.290.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 12.080.000 (dengan ILA)

- VIP/IA Rp 6.070.000
Rp 7.870.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 9.450.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 10.360.000 (dengan ILA)

- IC/IB/ICU/ISOLASI Rp 4.720.000
Rp 6.180.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 7.440.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 8.650.000 (dengan ILA)

- Kelas II Rp 3.650.000
Rp 4.780.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 5.740.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 7.370.000 (dengan ILA)

- Kelas III Rp 2.755.000
Rp 3.595.000 (dengan tindakan/penyulit)
Rp 4.300.000 (dengan tindakan+penyulit)
Rp 6.155.000 (dengan ILA)

Sectio Caesaria (SC)

- SVIP Rp 26.718.000
- VIP/IA Rp 23.770.000
- IC/IB/ICU/ISOLASI Rp 20.610.000
- Kelas II Rp 16.752.000
- Kelas III Rp 12.971.500

Kelihatan nggak jauh beda sama paket yang ditawarin? Hohooo jangan salah. Tarif normal itu belum termasuk pemeriksaan penunjang, jasa konsul dokterbiaya admin, obat-obatan, biaya kamar ibu dan bayi, dan alat kesehatand i ruang perawatan. Jadi silakan diperhitungkan.

4. Sentra Medika
Jl. Raya Bogor, Jalan Raya Bogor, Telp. 021-874 3790
Ini sebenarnya agak jauh dari radar pantauan gue. tapi berhubung dokter kandungan gue praktek di sini juga, jadi gue pun mencari tahu biaya di sini. Eh tapi kok yang sempet gue foto cuma biaya SC ya? Di sini pun terima BPJS

SC
- VIP Rp 11.600.000
- Kelas I Rp 10.740.000
- Kelas II Rp 9.880.000
- Kelas III Rp 8.160.000

SC + Histerektomi
- VIP Rp 20.680.000
- Kelas I Rp 18.160.000
- Kelas II Rp 15.640.000
- Kelas III Rp 13.120.000

SC + Kategori besar (kista bilateral, ligasi A.hipogastrika, B-lynch)
- VIP Rp 16.160.000
- Kelas I Rp 14.640.000
- Kelas II Rp 12.620.000
- Kelas III Rp 11.100.000

Gue nggak ngerti istilah2nya. tapi mestinya sih yang bakal sering dipake SC biasa aja. Tapi ya... itu baru biaya tindakan, belum termasuk kamar, obat, pemeriksaan penunjang, tambahan biaya kalau di atas jam 9 malam, dan biaya administrasi 6 persen.



Nah... Sementara itu dulu. Mestinya sih ada Bunda Margonda juga. Tapi belum sempet survei ke sana aja.

















Selasa, 01 Maret 2016

Senam Hamil, di Mana?




Pernah senam hamil? Saya pernah, Sabtu kemarin di Mitra Keluarga Depok. Ini pengalaman pertama saya ikut senam-senam ginian. Darihamil pertama, saya nggak tertarik. Nggak terlalu ngerti apa fungsinya. Mungkin karena saya juga nggak terlalu suka olahraga, kecuali jalan-jalan. Ini semua berawal dari tetangga yang hamilnya lebih tua sekitar 3 minggu dari saya. Dia udah lama banget ngajakin ikutan senam hamil karena dia pengen persalinan normal. Dia udah mulai dua minggu sebelum saya, katanya asyik. Makanya saya mau.

Di Depok, ada beberapa pilihan tempat buat ikut senam hamil di Depok yang saya tahu. Pertama di Bunda Margonda. Kalau ini, dr kehamilan pertama udah niat pengen ikut tapi entah kenapa batal melulu sampe akhirnya brojol. Di Bunda, sekali datang bayar Rp 35.000, cukup bawa badan karena matras dan alat lainnya udah disediain. JAdwalnya juga sama, setiap Sabtu ada dua sesi. Sesi pertama jam 8.00 dan sesi kedua jam 9.00. Kedua, ya di Mitra Keluarga, tempat saya senam ini. Di sini jadwalnya juga setiap Sabtu, tapi cuma sekali. Mulainya jam 10.00. Jam 11.00 selesai, dilanjutkan dengan penyuluhan.

Nah, penyuluhan ini kadang oleh bidan yang merangkap instruktur senam, kadang oleh dokter. Kebetulan banget, pas saya ikut, 227 Feb kemarin, ada seminar oleh dr Marissa SpOg. Dia ngomongin soal keputihan saat hamil. BErhubung saya nggak ngalamin itu, jd saya cuma dengerin, nggak nanya. Sayang banget juga, teman-teman senam yang lain nggak ada yang nanya. Oh ya, bayar senamnya lebih murah di sini, cukup Rp 15.000 saja. Itu sudah termasuk snack, segelas susu Prenagen, dan peralatan senam (matras, guling, dan baju olahraga buat yang nggak siap). Kayaknya, harga snacknya aja udah lebih mahal dari biaya pendaftarannya. Ketiga, ada di tepi Danau UI, setiap Minggu mulai jam 7.

Beda dengan di Bunda atau di Mitra, senam di sini di ruang terbuka. Senamnya juga yoga, bukan senam hamil biasa. Instrukturnya adalah seorang aktivis anti melahirkan sesar, namanya Prita. Dia ngajakin teman-teman yang seide buat bikin komunitas. Di sini kita juga diajarin teknik-teknik melahirkan notmal. Oh ya, bayarnya sukarela. Jadi setiap selesai senam, akan ada kantong beredar di antara peserta.

Sebenarnya, apa sih fungsi senam hamil? Konon katanya, senam hamil ini berguna untuk latihan otot, pernapasan, dll yang nantinya bakal dibutuhin saat persalinan normal. Buat ibu hamil dan janinnya sendiri, senam ini berguna banget buat ngelancarin perederan dasar. Konon lagi, ini bisa bikin bumil rilkes. Pokoknya, ini bagus buat persiapan melahirkan. Apalagi, instruktur dan bidan suka berbagi cerita, tips, dan trik buat ngehadapin persalinan. Entah nanti endingnya tetap sesar, yang penting kan usaha. Satu hal yang saya senang di sini adalah ketemuan sama temen sesama bumil. Buat saya, ini penting. Saya jadi tahu bahwa ketegangan, masalah, kesulitan, keluhan, dll, bukan milik saya sendiri. Apalagi, saya always selalu tegang kalau nginget persalinan.

Senin, 29 Februari 2016

Ruang Laktasi di Kantor, Seperti Apa?

Banyak kantor yang mulai sadar pentingnya ASI buat bayi. Bukan cuma buat si bayi itu aja sih, tapi konon dampak nggak langsungnya juga bakal terasa buat kantor. Bayi ASI dipercaya lebih jarang sakit, ini bikin si ibu yang bekerja juga jarang izin karena anak sakit, misalnya. Ini kan bikin kinerja si ibu lebih baik. Nah, tapi, apa dong yang disediain kantor supaya para ibu bisa ngasih ASI ke bayinya, meskipun dia harus ninggalin bayi seharian? Ruang laktasi adalah salah satunya. NGgak usah yang besar, ukuran 2x3 meter aja cukup kok, yang penting di dalamnya ada tempat duduk, syukur-syukur sofa yang nyaman), kulkas (kalau bisa sih yang dua pintu biar bisa nyimpen es krim sekalian #eh), wastafel buat nyuci peralatan mompa kalau udah kelar.

Sekarang mulai banyak kantor yang nyedian ruangan kayak gitu. Kantor saya ini adalah salah satunya. Kabar soal adanya ruang laktasi ini sih udah lama, tapi saya baru ngecek tadi ketika nemenin teman sekantor mompa. PEnampakannya lumayan, ada sofa panjang, dua kursi busa yang cukup nyaman, satu meja kecil, dan kulkas dua pintu. Sayangnya.... di ruangan ini nggak ada wastafelnya. Jadi, pilihannya, setelah mompa, nyuci peralatan mompa ke pantri atau nggak usah dicuci, simpen aja di kulkas.

Nah, teman saya ini milih opsi yang kedua. nggak usah dicuci, toh, selang 2-3 jam bakal mompa lagi. Di ruang pendingin kulkas itu juga ada boks yang isinya ASI ibu lain, plus pompa ASI yang belum dicuci juga kayaknya. Karena masing-masing dalam boks sendiri, mudah-mudahan nggak terkontaminasi ya. Awal saya pindah ke kantor ini, ruang laktasi ini belum ada. Saay sempet kok ngeliat ada seseorang yang menutup seluruh tubuhnya dengan mukena. Janganya tangan, muka aja nggak kelijatan. Dari suara mesin, tahulah saya bahwa orang yang di dalam mukena ini adalah busui, yang lagi mompa ASI buat anaknjya di rumah.

Ini masih mending. Di kantor lama saya dulu, mungkin nggak ada musola, mompa ASI dilakukan di ruang kerja. Di tempat duduk masing-masing. Pemred pernah nawarin sih buat pake ruangannya, cuma males aja karena teman busui lain melakukannya di mejanya. Untungnya, kantor saya dulu itu isinya perempuan semua. Kalaupun ada laki, ya laki-laki keperempuan-perempuanan. Jadi, saya nggak ragu juga buat ikutan mompa di meja sendiri. Kulkasnya sih ada di ruang kami kerja juga, gabung dengan kulkas makanan dan minuman lainnya.

Kantor yang sebelumnya lagi lebih gawat. Seorang teman yang mau mompa ASI, kabur ke kamar mandi. Di situlah dia buka bajunya, dan beraksi. Saya sih nggak rekomen ya melakukan hal ini, siapa yang jamin kamar mandi bersih dari kuman? Tapi, teman saya itu sepertinya nggak pusing. Sebab dia nggak terlalu ngotot ngasih ASI buat anaknya. Jadi mompa buat dia tuh bukan buat nyetok ASI, tapi buang ASI yang udah menuhin payudaranya dan bikin sakit.

Nah, kalau di kantor kamu gimana?