ini cuma catatan buat si adik, afa, yang baru jadi pelaut. Begitu muda usianya, hanya 20 tahun saja. adik yang masih muda ini ikut dengan saya sejak stm, setelah dia meninggalkan bangku smunya di lampung, sekolah yang menurut dia bukan untuknya. Saya tarik di ke depok, agar mau sekolah, jauh dari teman-temannya di lampung yang membawa dia keluar dari sekolah lama.
tahun pertama dia tinggal mengontrak di sebuah rumah di bukit cengkeh berbunga, sebuah perumahan di depok. tahun kedua dia tinggal di rumah tante, juga di bukit cengkeh berbunga. tahun ketiga, baru dia saya ajak untuk tinggak di kos. Tahun keempat dia masih dengan saya, sambil menyelesaikan kursus pelautnya. dan belum habis tahun keempat itu, dia pun berlayarlah, konon ikut kapal pesiar prancis yang berlayar di indonesia saja (atau kapal kargo sebenarnya?).
Susah payah memintanya ikut kapal itu, kapal yang kaptennya konon masih bersaudara dengan kami, saya dan keluarga. usaha pertama gagal. dia memilih pulang ke lampung. "mau istirahat dulu setahun. saya masih terlalu muda untuk berlayar," begitu katanya. memang, di amasih terlalu muda. seharusnya dia ada di bangku kuliah sekarang. tapi pengalaman buruk di masa smu dan stm itu membuat saya ragu untuk berjuang lebih keras untuknya.
kami diamkan saja, kami turuti kemauannya. belum lagi satu pekan, datang lagi panggilan. masih degan kapal yang sama, hanya posisi yang berbeda, sebagai oiler alias oilman, katanya. mungkin itu pekerjaan yang rendahan saja, tapi kami senang kalau saja dia mau.
saya sudah terlanjur kesal. maka saya biarkan saja di memilih, ikut atau tidak. dan ternyata jawabannya tidak lagi. saya diam, tapi ibu saya tidak. ibu saya punya taktik, dia diminta mengantar nenek dan becce ke depok, ke rumah tante, urusan mendadak penting. nenek saya pun berakting dengan air mata. maka, malam-malam berangkatlah dia dengan nenek dan becce. menurut nenek, sempat ia ingin pulang lagi sebelum masuk ke rumah tante. tapi nenek saya berhasil membujuknya.
subuh, sampai juga ia di rumah tante. tante yang bijak itu membujuknya, menasihatinya, entah dengan mantra apa sampai-sampai ia pun berbelok hatinya. ajaib, ia mau ikut berlayar di kapal yang entah apa namanya itu. tante langsung menelepon saya dan meminta saya menyiapkan pakaian dan barang-barangnya yang lain dalam satu tas besar. saya siapkan, langsung saya antar ke rumah tante.
pagi-pagi, berangkatlah tante dan afa ke rumah saudara yang menjadi pembesar di kapal itu. tadinya afa diminta berangkat sendiri, tentu saja dia akan senang, di jalan bisa saja dia berbelok kembali ke lampung atau ke rumah teman-temannya, atau ke rumah pacarnya yang masih kecil itu. dengan ketakutan itu, tante pun mengantarkan dia. bahkan ketika ia izin untuk pee pun ia ditemani. mungkin pengawalan yang setingkat lebih rendah daripada tahanan.
perjalanan hari itu berakhir di kapal yang akan ia naiki. ternyata ada dua saudara lain yang akanikut kapal itu. beberapa hari kemudian kapal itu masih saja berlabuh di jakarta utara. sempat ada kekahawatiran ia kabur, saya pun berdoa agar kapal itu berangkat. beberapa hari kemudian, dia menelepon nenek dan tante, mengabarkan dia akan segera berangkat. tujuan pertamanya bangka. akh, terharus juga mendengarnya. adik yang satu itu akhirnya punya kehidupan sendiri, kehidupan di laut seperti nenek moyangnya dahulu, para pelaut bugis yang gagah berani menentang ombak tinggi lautan ganas.
lalu di benak saya berputarlah film semasa ia kecil. adik kesayangan, boleh dikatakan begitu. bukan karena dia istimewa dibandingkan dengan tiga adik saya yang lain. kesayangan saya kepada dia muncul karena sejak kecil sayalah yang mengurus dia. ketika dua adik saya yang lain dilahirkan, saya masih terlalu kecil untuk jadi kakak pengasuh. sempat juga berkurang perhatian saya itu ketika saya tinggal di rumah tante di depok, smp, tahun 1990-an awal, sementara dia tetap di lampung. saya lebih perhatian pada dua anak tante. bahkan ketika pulang ke lampung pun, perhatian saya tetap berlebih kepada dua anak tante itu. lalu saya menyesal. jauh-jauh saya pergi dari lampung, meninggalkannya, lalu ketika pulang yang hanya sebentar saja itu, saya tetap tidak menruh perhatian padanya. saya pun kembali diingatkan, dia adik saya yang saya asuh sejak kecil.
akh...terlalu dramatis mungkin saya menceritakannya. mungkin begitu pula perasaan kakak-kakak lain ketika melihat adiknya yang sudah punya pilihan hidup.
saya senang, meskipun dia masih menyimpan dendam karena saya sempat mendorongnya berlayar sehingga tidak mau menghubungi saya. bahkan ketika pulang setelah berada di laut satu bulan pun dia tidak menghubungi saya. hanya nenek yang ditemuinya. akh, terserah kau, dik. saya tetap sayang kau, itu sebab saya buat catatan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar