Kamis, 04 September 2008

Kereta Miskin

Dalam perjalanan menggunakan krl ekonomi Depok-Jakarta, siang hari.

Ibu: Aduh, jangan dorong2 dong..
Mbak: Saya nggak dorong, Bu, yang di belakang nih yang dorong (dengan nada emosi).
Ibu: Iya, tapi ditahan sedikit (dibalas emosi).
Mbak: Kereta memang begini, Bu. Kalau nggak mau sempit-sempitan, jangan naek kereta. Dari zaman dulu, kereta udah begini, murah (bicara dengan cvepat, dengan emosi).

Si Ibu berdiri di depan karung besar yang berisi barang dagangan, entah punya siapa. Si Mbak bawa dua kantung plastik yang bertuliskan salah satu toko fesyen di Jakarta. Seorang bakap, yang ternyata pemilik karung itu, menengahi. ia memberikan tempatnya (itu pun tempat berdiri) kepada sang Ibu, sementasa si Mbak menempati tempat yang tadinya ditempati si Ibu.
Hasri sudah siang, tapi kereta masih saja penuh. Saya jadi teringat pembicaraan dengan seorang teman, tentang kereta.

Teman: "Ya emang, kalau mau nyaman sih naek kereta ac yang express." (ketika itu belum ada kereta ekonomi ac)
Saya: "Mahal, lagi pula datangnya setahun sekali, berentinya juga nggak di Cikini."
Teman: "Kalau mau nyaman ya emang harus mahal."
Saya: "Jadi, yang murah nggak boleh nyaman? Yang miskin nggak boleh hidup nyaman?"
(Emang, yang miskin nggak boleh hidup nyaman, itu pilihan, kenapa pula mau jadi miskin?)

Saya mulai rajin naik krl jabodetabek sejak saya rajin ke kantor, tapi untungnya sekarang sudah ada krl ekonomi ac yang berhenti di setiap stasiun, yang datangnya lebih sering daripada krl express. Kantor saya di daerah Cikini, yang kalau dari depok memang lebih cepat dicapai dengan kereta. Tapi, ya itu, krl nggak pernah ramah buat saya. Hilang dompet? Biasa...Hilang ponsel? Apalagi. Pelecehan seksual? Tetap saja terjadi meskipun saya pakai jaket tebal.

Tidak ada komentar: