Di suatu sore yang sangat santai, abang bos memberikan teleponnya kepada saya. "Ini bicara langsung dengan orangnya, ya," kata dia sebelum memindahkan telepon itu ke tangan saya. Dengan kebingungan saya ambil telepon itu dan bicara seperti biasa.
Si penelepon adalah seseorang dari kantor berita radio di Jakarta, entah produser, entah reporter, entah tukang anter (gak mungkin yah). Tapi yang jelas, dia nanya satu hal ke gue: Laskar Pelangi. Saya sempat menolak, entah kenapa. Mungkin karena saya punya kesulitan berbicara secara baik dan benar jika dalam konteks sesuatu yang serius seeprti itu, atau karena saya sempat mengalami sesuatu dengan "kantor berita" itu. Seharusnya biasa saja karena "kantor berita" itu pun biasa saja.
Akhirnya saya terima juga wawancara itu secara terpaksa, sambil membayangkan karma yang mungkin sedang datang pada saya. Saya cuma berharap, semoga yang dapat giliran menyiarkannya bukan siapa-siapa. Atau lebih beruntung lagi kalau tidak usah disiarkan saja.
Rabu, 24 September 2008
Kamis, 04 September 2008
Kereta Miskin
Dalam perjalanan menggunakan krl ekonomi Depok-Jakarta, siang hari.
Ibu: Aduh, jangan dorong2 dong..
Mbak: Saya nggak dorong, Bu, yang di belakang nih yang dorong (dengan nada emosi).
Ibu: Iya, tapi ditahan sedikit (dibalas emosi).
Mbak: Kereta memang begini, Bu. Kalau nggak mau sempit-sempitan, jangan naek kereta. Dari zaman dulu, kereta udah begini, murah (bicara dengan cvepat, dengan emosi).
Si Ibu berdiri di depan karung besar yang berisi barang dagangan, entah punya siapa. Si Mbak bawa dua kantung plastik yang bertuliskan salah satu toko fesyen di Jakarta. Seorang bakap, yang ternyata pemilik karung itu, menengahi. ia memberikan tempatnya (itu pun tempat berdiri) kepada sang Ibu, sementasa si Mbak menempati tempat yang tadinya ditempati si Ibu.
Hasri sudah siang, tapi kereta masih saja penuh. Saya jadi teringat pembicaraan dengan seorang teman, tentang kereta.
Teman: "Ya emang, kalau mau nyaman sih naek kereta ac yang express." (ketika itu belum ada kereta ekonomi ac)
Saya: "Mahal, lagi pula datangnya setahun sekali, berentinya juga nggak di Cikini."
Teman: "Kalau mau nyaman ya emang harus mahal."
Saya: "Jadi, yang murah nggak boleh nyaman? Yang miskin nggak boleh hidup nyaman?"
(Emang, yang miskin nggak boleh hidup nyaman, itu pilihan, kenapa pula mau jadi miskin?)
Saya mulai rajin naik krl jabodetabek sejak saya rajin ke kantor, tapi untungnya sekarang sudah ada krl ekonomi ac yang berhenti di setiap stasiun, yang datangnya lebih sering daripada krl express. Kantor saya di daerah Cikini, yang kalau dari depok memang lebih cepat dicapai dengan kereta. Tapi, ya itu, krl nggak pernah ramah buat saya. Hilang dompet? Biasa...Hilang ponsel? Apalagi. Pelecehan seksual? Tetap saja terjadi meskipun saya pakai jaket tebal.
Ibu: Aduh, jangan dorong2 dong..
Mbak: Saya nggak dorong, Bu, yang di belakang nih yang dorong (dengan nada emosi).
Ibu: Iya, tapi ditahan sedikit (dibalas emosi).
Mbak: Kereta memang begini, Bu. Kalau nggak mau sempit-sempitan, jangan naek kereta. Dari zaman dulu, kereta udah begini, murah (bicara dengan cvepat, dengan emosi).
Si Ibu berdiri di depan karung besar yang berisi barang dagangan, entah punya siapa. Si Mbak bawa dua kantung plastik yang bertuliskan salah satu toko fesyen di Jakarta. Seorang bakap, yang ternyata pemilik karung itu, menengahi. ia memberikan tempatnya (itu pun tempat berdiri) kepada sang Ibu, sementasa si Mbak menempati tempat yang tadinya ditempati si Ibu.
Hasri sudah siang, tapi kereta masih saja penuh. Saya jadi teringat pembicaraan dengan seorang teman, tentang kereta.
Teman: "Ya emang, kalau mau nyaman sih naek kereta ac yang express." (ketika itu belum ada kereta ekonomi ac)
Saya: "Mahal, lagi pula datangnya setahun sekali, berentinya juga nggak di Cikini."
Teman: "Kalau mau nyaman ya emang harus mahal."
Saya: "Jadi, yang murah nggak boleh nyaman? Yang miskin nggak boleh hidup nyaman?"
(Emang, yang miskin nggak boleh hidup nyaman, itu pilihan, kenapa pula mau jadi miskin?)
Saya mulai rajin naik krl jabodetabek sejak saya rajin ke kantor, tapi untungnya sekarang sudah ada krl ekonomi ac yang berhenti di setiap stasiun, yang datangnya lebih sering daripada krl express. Kantor saya di daerah Cikini, yang kalau dari depok memang lebih cepat dicapai dengan kereta. Tapi, ya itu, krl nggak pernah ramah buat saya. Hilang dompet? Biasa...Hilang ponsel? Apalagi. Pelecehan seksual? Tetap saja terjadi meskipun saya pakai jaket tebal.
Langganan:
Postingan (Atom)