Senin, 02 Maret 2015

Dipanggil Tante oleh Mahasiswa Semester Dua

Sebelum saya cerita panjang, saya mau menggambarkan sedikit tentang para penghuni kompleks saya. Kompleks ini usianya lumayan tua. Para penghuninya seangkatan tante saya yang anaknya udah pada kerja. Saya termasuk penghuni baru tapi lama. Kenapa? Dulu, masa SMP dan SMA saya dihabiskan di sini. Lalu kuliah keluar, dan kembali lagi ke sini, menempati rumah dari tangan kedua, yang pemilik sebelumnya juga sudah cukup berusia. Maka, saya sekarang termasuk penghuni baru dari kelas termuda. Saya punya tetangga, pasangan beranak satu. Usianya lumayan jauh dari saya. Anaknya itu sudah mahasiswa, semester dua di ITB. Sesekali saya datang ke rumahnya, ngobrol. Atau berbagi pengetahuan tentang rajutan. Kadang-kadang anaknya nimbrung. Kalau dia cerita dan ingin menyebut saya sebagai orang kedua tunggal, dia nggak pake kata "kamu", apalagi "elo", mungkin menurutnya terlalu kurang ajar. Bisa saja dia bingung mau manggil saya apa, tapi akhirnya dia memilih "tante", seperti ia memanggil teman-teman ibunya. Aih... saya dipanggil "tante" oleh mahasiswa semester dua. Tua sekali. Saya jadi berpikir, "Jangan-jangan sebenarnya saya memang sudah tua, tapi nggak mau terima." Lalu saya menghitung usia. "Ah, saya masih muda, cuma tampang saya aja yang tua, setua ibunya." Nnggak juga sih sebenarnya. Lalu saya bercermin secepatnya. Ah masih muda. Buktinya, belum banyak kerutan di muka, cuma ada satu... dua... tiga... empat... lima... Eh... banyak ternyata! Ah, tapi tenang, cermin kan suka berdusta. Sungguh, sebenarnya saya masih muda.

Amang Sakit

Tersedu-sedu, laki-laki di seberang sana berbicara, "Saya sakit... Stroke...." "Hah? Stroke?" Saya mengulang kata terakhirnya dengan nada bertanya, suara lebih keras dari biasanya. Saya kaget, jelas. Saya langsung teringat Aba yang belum genap setahun lalu meninggal dunia karena stroke. Tak lama sakitnya, hanya tiga hari saja di rumah sakit. Saya sempat bertemu dengan Aba di hari terakhir hidupnya. Dengan napas tersengal-sengal dan sebuah alat bantu napas, mata tertutup, dan tubuh lemasnya terbaring di tempat tidur. Sedih tiada terkira saya melihatnya. Tapi, ini bukan cerita tentang Abba. Di seberang sana, Amang (mamang, om, paman), yang menelepon saya tadi, Minggu (7/9/2014) pagi, juga mengalami sakit yang sama. Amang kena stroke ringan. Kakinya lemas. Masih bisa berdiri dan berjalan berpegangan, hanya seperti orang mabuk yang rasanya hendak terjatuh selalu. Dan yang membuat saya ingin menangis adalah, Amang tak punya tempat untuk pulang. Mungkin itu yang membuatnya sempat memutuskan untuk pulang ke Sulawesi, ke rumah adiknya, satu-satunya saudaranya yang masih bernapas. Di sana, katanya, Amang akan berobat tradisional. Seorang keponakannya, sepupu yang tidak pernah saya kenal sebelumnya, akan menjemputnya dari Surabaya. Dari Surabaya, Amang akan terbang ke Sulawesi. Tapi, memabayangkan bagaimana Amang akan diobati di sana, saya tidak tega. Apalagi mendengar bahwa di sana agak terisolasi. Lebih terisolasi daripada kampung nenek di Lampung. Maka, saya membujuknya agar mau berobat di Jakarta. Berobat dokter. Saya yakin, kemungkinan sembuhnya masih sangat besar. Amang akhirnya mau. Sempat bertanya, "Ke mana saya nanti? Ke Depok?" Ya, Mang. Tentu ke Depok. Saya akan mengantar Amang ke dokter. Saya tahu, Amang tak punya tempat pulang. Buat Amang, pulang itu ke Sulawesi. Saya belum pernah ke sana, jadi saya tak bisa menilai bagaimana Amang bisa merasa nyaman di sana. Amang sebenarnya punya keluarga. Seorang istri dan dua anak. Istrinya di Indramayu. Anak pertama baru bekerja di daerah Sunter, anak kedua entahlah. Mungkin di Indramayu juga. Saya menilai, Amang tak dekat dengan keluarga. Mungkin karena hampir seluruh hidupnya dihabiskan di laut. Jarang pulang. Entahlah. Tapi, Amang cukup dekat dengan keluarga dari ibu saya. Dulu, Amang tinggal bersama kami, sewaktu saya masih balita. Saya tak terlalu banyak kenangan dengan Amang. Tapi Amang ini mengingatkan saya pada Abba. Dan Amang cukup peduli pada Abba. Dan selama di Depok, anaknya yang laki-laki merawatnya. Toris namanya. Akhirnya saya mengenal anak itu. Anak yang diminta datang dari Indramayu. Sebulan Amang di Depok. Lalu ia terbang ke Sulawesi, bersama anaknya itu. Sebulan ini memang tak banyak perubahan. Dokter bilang, butuh waktu. Apalagi penanganan darurat ketika pertama kali serangan stroke itu datang, tidak benar. Harusnya Amang dirawat, katanya. Ah tapi ya sudahlah. akhirnya Amang ke Sulawesi. Dan kabar terakhirnya, sudah bisa berjalan. meski pakai tongkat. Tangannya yang kiri belum berfungsi normal, tetapi sudahbisa digerakkan. Setidaknya, Amang sudah tak lagi tergantung pada orang untuk melakukan hal-hal yang sifatnya pribadi.

Kaka Mau Sekolah

Usia berapa seorang anak sebaiknya mulai sekolah? Jawabannya bakal beragam banget. Tapi gue milih daftarin Kaka sekolah, ya sekarang-sekarang ini, menjelang 4 tahun. Gue juga bingung si Kaka bakal masuk kelas yang mana. mau kelompok bermain yang 3 tahun, usianya udah lewat. Mau TK yang usianya 4 tahun, belum cukup. Agustus nanti, Kaka 4 tahun. Sementara sekolah dimulai Juli. Artinya, usia Kaka kurang sebulan buat masuk TK. Tapi ya sudahlah, terserah nanti hasil observasi sekolah yang menentukan. Dua minggu ini, gue udah mulai sibuk sama persiapan Kaka sekolah. Pertama, tentu aja nyari sekolah, mulai dari 14 Feb 15 lalu. Sebenarnya ini bukan kerjaan yang susah-susah amat, tapi entah kenapa males banget survei langsung ke sekolahnya. Ada beberapa sekolah yang saya incar, tentu aja semuanya deket rumah. Pertama, Semut-Semut yang ada di Kompleks Perindustrian, Jl. Industri Kapal Dalam,RTM, Kelapa Dua, Depok. Dulu ada anak tetangga yang sekolah di situ. Anak dosen saya juga. Ini sekolah alam berbasis Islam. Tempatnya asri banget. Selain kelompok bermain dan TK, ada SD-nya juga. Konon pendafatarannya mahal, tapi setelah mengunjungi websitenya ternyata nggak jauh beda sama yang lain. Pendafatran Rp 8,25 juta, uang bulanan Rp 550 rb, dan seragam 350 ribu. Menjelang naik ke TK B nanti, akan ada uang kegiatan setahun Rp 1,6 juta. Oh ya, formulirnya Rp 300 ribu. Kedua, TKIT Fitri yang juga ada di jalan yang sama dengan Semut-semut. Dari namanya aja ketahuan ya ini sekolah Islam. Tetangga ada yang nnyekolahin anaknya di situ, katanya bagus. Tapi bagus itu relatif sih kalo buat anak TK. Kalau menurut tetangga saya itu sih, anaknya hapal banyak doa dan surat-surat pendek. Saya sempet datang ke sekolah ini dan ketemu sama kepala sekolahnya. Dia ceritalah visi misi sekolah ini, berikut aktivitas anak di sini. Dari situ, saya jadi nyadar, sekolah ini mirip Nurul Fikri ya? Cuma biayanya jauh lebih murah, pendaftaran tahun ini aja sekitar Rp 7.650.000, formulir Rp 175 ribu, uang bulanan Rp 575 ribu. Dan kalau mau naik ke TK B, daftar ulang buat biaya kegiatan selama tahun berikutnya sekitar 2,6. Ketiga Khonsa, di Jl. Pondok Duta Raya. Saya pengen masukin si Kaka ke sekolah ini dari umur 1,5 tahun, sekalian daycare-nya. Waktu itu biayanya masih Rp 3,75 juta. Nah, sekarang udah naik jauh banget. Pendaftaran Rp 7,9 juta, bulanannya gue lupa. Sekolah ini gampang banget ditemukan karena pas di pinggir jalan. Tulisan nama sekolahnya besar dengan huruf dan gambar yang menarik. Ini juga sekolah berbasis Islam. Sempet juga sih pengen masukin Kaka ke sini biar sekalian ikut day care. Tapi kepikiran lagi, ntar sorenya siapa yang jemput? Emang gue bisa? Emang papanya bisa? Belum tentu kan. Akhirnya ya sudah, sekolah ini dicoret. Tau yang mana akhirnya saya pilih? TK Fitri. Selain ada anak tetangga, sekolah itu juga yang direkomendasiin tante. Dari Kaka kecil banget, tante udah ceriita tentang sekolah ini terus. Rupanya, sekolah ini udah dikenal sejak dahulu kala di kalangan ibu-ibu masjid di kompleks gue. Anaknya bu itu dulu di sana, sekarang udah kuliah. anaknya bu anu juga di sana, sekarang udah punya anak. Buset... Eh yang busetnya lagi... gue udah punya anak yang mau sekolah. Artinya... Buset, gue udah tambah dewasa, kalau nggak mau dikatakan tua.