Rabu, 16 Oktober 2013
Perjalanan Malam
Dua pekan ini saya bolak-balik ke Lampung. Terakhir adalah akhir pekan lalu, bersamaan dengan libur Idul Adha. Saya berangkat siang, terlalu siang. Dan memperkirakan sampai rumah di Lampung sudah malam. Saya tahu, Kaka belum pernah jalan malam dengan menggunakan angkutan umum, dari ojek, angkot, bus, kapal laut, danberakhir di ojek lagi. Apalagi, sehari sebelumnya, Kaka sempat panas, kata si pengasuhnya.
Tapi saya yakin, perjalanan kali ini akan lancar. Benar kan, bus yang lamban dari Kp Rambutan menuju Merak memaksa kami harus naik kapal jam 19.00, dan baru berangkat setengah jam berikutnya. Nenek Kaka sudah menanti di Merak. Sampai di Bakauheni sudah jam 10.30. Terlalu larut memang untuk naik ojek selama 30 menit. Tapi saya nekad. Ibu saya pun nggak khawatir. Digendong ibu saya, akhirnya kami meluncur dengan motor bebek menembus malam.
Kaka nggak kenapa-napa. Mungkin saya lebai memperkirakannya. Selama di Lampung, Kaka juga aktif luar biasa. Main bola di siang hari bolong. Ke laut sore-sore saat angin bertiup kencang. Berenang di pasir. Ah, itu surga buat Kaka.
Kembali ke Depok, kami juga melakukan perjalanan malam. Gara-garanya, saya ogah jalan sendiri. Adik saya, yang kebetulan pulang satu jam untuk bawa titipan daging kurban, akhirnya menjadi teman saya. Jam 20.00 kami kembali meluncur dengan ojek. Persiapan saya memang tidak terlalu baik untuk perjalanan kali ini. Kaka memakai celana pendek, padahal udara cukup mengancam. Kaka juga sedikit makan. Tapi saya perbanyak susu biar perutnya terisi penuh sehingga tak ada tempat untuk angin.
Perjalanan kali ini lebih larut lagi. Saya mungkin agak kejam. Sampai di merah tepat tengah malam. Saya agak khawatir bus ke kp Rambutan telah habis. Tapi, di terminal rupanya masihtersedia banyak. Kami naik bus yang tidak biasa. Armada namanya. Bus ini berkursi dua-dua. Masih baru pula. Ruang agak lega sehingga kaka juga bisa duduk sempurna di kursi untuk berdua itu. Sepanjang jalan, Kaka nyaris tidak tidur. Dia terlalu gembira melihat kapal-kapal di lautan, bus-bus dan truk di jalan tol. Saya yang mengantuk, terpaksa menemaninya ngobrol. Tapi menjelang Jakarta, Kaka akhirnya menyerah pada kantuknya. Dia tidur lelap di gendongan saya. Di tengah lelapnya, kami pun tiba. Pukul 02.30 waktu itu. terminal Kp rambutan masih ramai oleh orang-orang yang baru tiba dariluar kota. Angkutan umum, bus, ojek, berseliweran. Tapi betapa sulitnya mencari taksi malam itu. Setengah jam lebih kami menunggu, tak satu pun taksi yang bersedia. Taksi malam memang jual mahal. Meskipun dia taksi merek terkenal. Kamipun naik angkot sampai Ps Rebo, berharap di sana ada taksi kosong.Lagi-lagi, setengah jam menunggu, tak juga ada yang lewat. Kami akhirnya naik angkot sampai kelapa dua, tiba menjelang subuh. Ojek pun nyaris tidak tersedia. Tapi akhirnya kami tiba tak kurang satu apa. Bersyukur untuk perjalanan lewat tengah malam, dengan angkutan umum, yang pertama buat Kaka.
Kehilangan Abba
Abba, bapak saya, begitu akrab dengan Kaka. Abba menemani Kaka tumbuh. Abba ada di dekat Kaka bahkan sebelum ia dilahirkan. Abba juga setiap hari di rumah sakit waktu saya dirawat lima hari pascamelahirkan Kaka. Waktu Kaka pertama kali bisa bicara, Abba-lah yang dipanggilnya. Sehari-hari, kala saya harus bekerja, Kaka juga menghabiskan waktu dengan Abba meskipun ada neneknya, ibu daya, dan si ifa, pengasuhnya. Maka, ketika Abba pulang ke Lampung, Kaka merasa kehilangfan. Dia seringkali nanya, "Mana Abba?"
Abba telah berpulang, Rabu, 2 Oktober lalu, setelah sakit sepekan. Abba mengalami darah tinggi, lalu stroke, koma, dan meninggal dunia. Prosesnya begitu cepat. Saya sempat bertemu dengan Abba di hari terakhirnya, meskipun sudah dalam keadaan tidak sadar.
Kaka tidak. Terakhir kali kaka berjumpa, ya akhir September itu, ketika Abba akan pulang ke Lampung. Selasa, 17 Oktober 2013. Sepekan setelah di Lampung, Abba pun sakit. Saya sempat beritahu Kaka. Dan Kaka sering berkicau dengan sendirinya, "Abba sakit, di Lampung." Dengan bahasa dia tentunya.
Saat saya menjenguk Abba di rumah sakit, Kaka nggak ikut. Dia datang ketika Abba sudah meninggal dunia, langsung ke rumah. Saya sempat memperlihatkan jenazah Abba ke dia. Tapi dia tentu saja belum mengerti. Dia tetap bilang, Abba sakit, di Lampung."
Ah, Abba. Ah, Kaka. Abba memang lamban, tapi Abba sangat saya andalkan untuk bantu jaga Kaka ketika neneknya pergi. Sering juga Abba saya mintai tolong jaga Kaka sendiri, ketika si ifa juga pergi. Satu yang paling saya ingat tentang Abba dan Kaka adalah saat Abba manggil Kaka, "Kaka..." dengan suara setengah seraknya, ketika melihat Kaka main sendiri. Sering juga Abba membawa Kaka keluar rumah, jalan pagi melihat anjing.
Kaka sering juga manggil Abba dari kejauahn. Ketika Abba di rumah adik saya, yang ada di seberang rumah, misalnya. Atau ketika Abba lewat depan rumah untuk ek warung. Dan Kaka selalu lompat-lompat saat menyerukan namanya. Kaka senang bersama Abba.
Ah, Abba, Kaka pasti akan rindu Abba. Semoga Abba tenang di sana, dan kami bisa berjumpa lagi dalam keadaan yang lebih bahagia.
Langganan:
Komentar (Atom)