Hamil dan darah tinggi? Itu sesuatu hal yang perlu diwaspadai karena bisa berisiko preeklampsia, bayi kurang nutrisi, plasenta copot, dll. Dan sekarang saya yang harus waspada karena dua hal itu datang bersamaan, sekarang ini. Bagaimana ceritanya, tekanan darah saya yang biasanya rendah tiba-tiba jadi tinggi? Hohoho... saya juga nggak ngerti.
Senin, 19 Okt 2015 lalu, saya ke dokter biasa. Keluhan saya waktu itu batuk pilek. Batuknya udah mulai berdahak, agak kehiajauan warnanya. Berdasarkan pengalaman saya, kalau begini nih batpil saya akan bertahan lama. Biasanya nggak mempan dikasih obat batuk biasa, butuh antibiotik yang cuma bisa didapat dengan resep dokter.
Oke, dokter periksa saya seperti biasa. Napas saya terdengar bersih, katanya. Tapi ketika dia periksa tensi darah saya, dia agak nggak percaya. Lalu mengulanginya beberapa kali. "Tekanan darah ibu tinggi ya, 140/100," katanya, sambil tetap sibuk dengan alat tensinya. "Ini nggakbaik buat kehamilan," katanya lagi. Lalu dia menjelaskan banyak hal, termasuk kemungkinan penyebab dan risiko. Dia tanya, adakah orangtua saya yang menderita darah tinggi. "Oh ya, ayah saya," kata saya. "Hoo... ibu ini ada bakat darah tinggi. Tapi ada kemungkinan juga karena hormon kehamilan," katanya.
Jadi, karena saya hipertensi, dokter tidak berani ngasih saya obat batpil. Alasannya obat batpil bisa bikin tensi saya tambah tinggi. Dia cuma kasih antibiotik yang konon nggak bahaya buat kehamilan saya. Semoga benar. Say disuruh istirahat total, di rumah aja, selama 24 jam. Lalu besok kembali lagi buat kontrol tensi. Saya melakukan itu. Ketika kembali lagi keeskona harinya, tensi saya belum turun. "Saya nggak kasih ibu obat penurun tekanan darah, cuma saya kasih obat antioksidan," kata si dokter. Konon, antioksidan ini juga bisa menurunkan tensi, tapi kalau orang awam tahunya ini adalah obat pengencer dahak. Ya sudalah, tokh berfungsi buat ngencerin dahak gue juga kan. Gue cuma dikasih dua karena besoknya lagi gue harus ketemu dokter kandungan.
Ya sudha, akhirnya semalam gue ke dokter kandungan, meskipun jadwal kontrol gue masih seminggu lagi. tekanan darah gue udah turun jadi 130/100. Gue dikasih antioksidan untuk dua minggu, nanti setelah dua minggu kontrol lagi. Kalau hasilnya bagus, obatnya dihentikan. Tapi nggak bagus, ya terusin sampai melahirkan.
Jadi apa penyebab darah tinggi gue? Ya konon kata dokter kandungan, karena hormon. Tapi kalau benar karena hormon, biasanya satu atau dua bulan setelah melahirkan akan normal lagi. Jadi kalaupun gue dikasih obat penurun tekanan darah, bisa dihentikan. Tapi semoga sih nggak sampe pake obat penurun tekanan darah itu.
Kamis, 22 Oktober 2015
Kamis, 01 Oktober 2015
Halo dr SpOg
Akhirnya semalam, Rabu, 30 September 2015, saya memutuskan ke dokter. Awalnya saya mau ke Bunda Margonda karena ngerasa udah familiar dengan rumah sakit itu. Saya udah sempat mendaftar untuk konsul dengan dr Dian Purnama. Tapi... mengingat biaya yang akan dikeluarkan besar banget buat ukuran saya (saya memperhitungkan konsul, obat, dan USG sekitar 600 ribu, lalu tes lab Rp 400 ribu) maka saya memutuskan ke klinik dekat rumah aja.
Klinik ini sebenarnya juga udah familiar buat saya. Namanya Medisca, di jalan RTM menuju Pondok Duta, Kelapa Dua, Depok. Klinik ini langganan saya kalau saya atau Kaka sakit ringan. Dokter umumnya namanya dr. M.J. Fransisca. Meski mukanya kelihatan nggak ramah, tapi saya suka dengan cara kerjanya. Dia periksanya detail, bukan cuma denger detak jantung melalui stetoskop aja. Dia juga ngejelasinnya rinci. Ibu saya pernah konsul telinga, dan si dokter sampai bikin gambar telinga plus dalem2nya buat ngejelasin. Saya pun mempromosikan si dokter ini ke adik dan ibu saya. Dan mereka juga cocok.
Kalau dokter kandungannya, terang aja saya belum coba. Tapi adik saya pernah, untuk periksa benjolan di payudaranya. Adik ipar saya juga pernah, buat konsul kehamilannya yang kemarin abortus dan yang sekarang baru 7-8 minggu. Tapi, akhirnya SpOg di klinik jugalah yang saya pilih. Namanya dr. Samson Chandra, SpOg. Konon, si dokter SPoG ini adalah suami dr. Fransisca. Selain praktik di Medisca, dia juga dokter konsul di Permata Medika dan Meilia Cibubur.
Sebelum saya memutuskan konsul dengan dr. Samson, saya crai informasi dulu dong di mbak Google. Nggak terlalu banyak informasi yang saya dapat, nggak kayak dr. Maman, dr. Tofan, atau dr. Dian. Saya nemu artikel dari Okezone yang narsumnya dia, tentang tanda-tanda ehamilan. lalu ada juga tanya-jawab di Republika, narsumnya juga dia. Kalau di blog-blog atau di forum, belum banyak yang ngomongin. Jadi, saya nggak bisa dapat gambaran jelas tentang dokter ini.
Dokter ini praktik di Medisca setiap Senin-Rabu-Jumat, pukul 20.00-22.00. Sabtu jam 9-11 pagi. Nah, karena waktu itu Rabu, dan jadwal si dokter ini malam, maka saya sengaja pulang cepat dari kantor. Biar sempat leha-leha di rumah, lalu berangkat ke klinik. Jam 8 kurang dikit saya pun berangkat. diantar suami dan si Kaka. Nggak sampai 10 menit, saya pun sampai di klinik itu. Ketika masuk, udah ada seromobongan ibu dengan perut membuncit, ditemani suami-suami mereka, duduk manis di ruang tunggu. Saya curiga, jangan-jangan saya dapat urutan terakhir. Dan bener kan, ketika mendaftar, saya dapat urutan 10 dari 11 pasien yang konsul malam itu.
Urutan ke-10, dapat giliran jam 10 lewat dikit. Saya pun masuk ke ruang praktiknya. Bagus. Mungkin karena bangunan klinik ini juga baru, dan karena ini klinik sendiri, mungkin dia sendiri juga yang ngerancang ruangannya. Sedikit lebih bagus dari ruang konsulnya Bunda lah. Di ruangan ini dia punya alat USG dengand ua monitor, satu untuk dia dan satu untuk pasien yang ditaro di tembok. Jadi ketika dia meriksa, pasien juga bisa liat. Di Bunda, ada beberapa ruangan yang layarnya cuma untuk dokter aja.
Pertanyaan pertama si dokter ketika saya masuk adalah: "Ini kehamilan yang keberapa?" Saya jawab. "Yang pertama ini?" katanya sambil nunjuk Kaka yang ikutan masuk. Saya jawab lagi. Lalu pertanyaan berikutnya pun mengalir, mulai dari persalinan pertama itu tahun berapa, normal apa sesar, kenapa sesar, di mana persalinannya, dibantu dokter siapa, kenapa milih rumah sakit yang sebenarnya agak jauh itu, dan pertanyaan-pertanyaan standar dokter kandungan lainnya seperti kapan hari pertama haid terakhir, dll.
Dokter berkulit putih khas Asia Timur ini agak ramah, nggak terburu-buru juga. Setelah puas bertanya-tanya, dia minta saya naik ke tempat tidur untuk diperiksa. Dia nggak pake suster lho. Setelah menekan-nekan perut saya dengan alat USG, saya bisa melihat si kecil ini di dalam perut sini. Dia nggak ngomong sama sekali. Baru ketika hampir selesai dia bilang, "Ini janinnya, ini kepalanya dan ini badannya. Usianya udah 9 minggu 2 hari," katanya. Lalu dia cetak hasil USG. Dua kali. Satu untuk dia simpan di berkas pasien saya yang disimpan di klinik, satu lagi untuk saya bawa pulang. Oh ya, meski layanannya dokternya kayak di rumah sakit yang lumayan oke, sayangnya kita nggak dibekalin buku pasien yang bisa dibawa pulang kayak di Bunda, HGA, atau Hermina. Jadi, ya udah, saya cuma bawa pulang foto USG tadi aja.
Saya di dalam nggak terlalu lama, mungkin sekitar 20 menit. Saya dibekalin folic acid dan antimual. Saya sempat bilang bahwa saya minum folamil genio. kata dia itu juga oke, malah lebih lengkap. Cuma, apa saya nggak apa-apa? nggak mual? Oh terang saya mual. Dan saya baru tau, folamil ini, kata si dokter, bikin mual. Saya sih nganggapnya mungkin di trimester pertama aja. Itu wajar kok. Waktunya bayar. Sebelum ke situ, saya tanya adik ipar, berapa biaya yang dia keluarin untuk satu kali konsultasi dan obatnya. Ternyata cuma Rp 163 ribu. Maka saya nggak kaget-kaget amat waktu saya dikasih tagihan Rp 175 ribu. Cuma suami aja yang agak kaget, murah banget katanya. Padahal udah dapat pelayanan yang lumayan oke, USG dan diprint pula.
Langganan:
Postingan (Atom)