Rabu, 06 Agustus 2014

Terbang yang Menyenangkan

Ini cerita Kaka waktu mudik ke Bengkulu, 27 Juli-4 Agustus 2014. Ini bukan kali pertama sebenarnya, dua tahun lalu, Kaka pun mudik ke sana. Sama-sama naik pesawat. Dan syukurnya, selama terbang dia nggak pernah rewel. Kalau dulu, Kaka masih bayi. Hal paling saya jaga adalah pendengarannya, katanya selama terbang mesti disusuin. Tekanan udara di pesawat berbeda dengan di darat. Kalau nggak waspada, kuping jadi nggak nyaman. Tahun ini, kami memilih Lion Air, maskapai yang terkenal sama delay, sempit, dan gerahnya. Ya, di antara maskapai lain, singa terbang ini memang paling nggak nyaman. Sebenarnya saya menghindar banget dari masakapai satu ini. Tapi, berhubung maskapai ini yang nawarin tiket paling murah menjelang jadwal mudik, jadilah saya pilih ini. Rp 4,6 juta bertiga, pulang-pergi. Ketidaknyamanan pertama datang ketika pesawat dikabarkan delay. Ini sih nggak aneh lagi, cuma saya berdoa supaya delaynya jangan lama-lama amat. Soal delay ini udah bisa saya tebak dari jadwal penerbangan lain dari masakapai yang sama, yang juga delay. Ah ya sudahlah. Akhirnya, pesawat kami delay sekitar satu jam. Tapi Kaka punya dibikin nggak bosan dengan game di iPod, juga selingan main dengan anak lain yang juga menderita karena delay ini. Begitu pesawat siap dinaiki, Kaka mulai rewel. Dia minta makan. Dikasih roti, nggak mau. Dikasih biskuit, juga nggak mau. Susu, juga ditolak. Aih.. akhirnya saya pergi keluar, cari restoranb terdekat dengan ruang tunggu. Dari tiga restoran yang saya datangi, nggak ada yang nyediain layanan take away. Saya pun menyerah. Mungkin lebih tidak berisiko membujuk Kaka nahan lapar dibandingin saya melangkah lebih jauh buat cari makanan, di tengah panggilan penumpang penerbangan saya yang mulai dipanggil. Saya siap nerima risiko kalau nantinya Kaka nangis karena kelaparan. Atau pilihan terakhir adalah beli makanan di pesawat. Meskipun Lion Air nggak ngasih makanan, dia nyiapin makanan yang buat dijual kok. Jadi saat peswat udah stabil di atas, pramugarinya bakal hilir mudik dorong gerobak makanan. Bukan gerobak kayak gerobak ketoprak atau bubur ayam itu lho, tapi rak kayak buat nganter makanan di restoran. Kaka begitu antusias masuk pesawat. Buat dia, pesawat itu sungguh mengagumkan. Dari kecil, kalau nangis, cukup dikasih liat pesawat yang lagi terbang, dia bakal berenti. Dia juga seneng sama mainan peswat, meskipun kalau diajak ke toko mainan, pilihan utamanya adalah truk atau back hoe. Tapi, buat dia, pesawat itu hiburan. Dan ketika udah duduk, dia lupa sama laparnya. Di pesawat, Kaka duduk sendiri. Iyalah, tiketnya udah seharga orang dewasa kok. Awalnya sih seneng, cuma agak aneh pas dipakein sabuk pengaman dan sempat minta dicopot aja. Ketika dibilangin bahwa sabuk pengaman dipasang supaya dia nggak jatuh dari kursi, dan kalau dilepas bakal diomelin si tante pramugari, akhirnya dia pasrah. Dia milih sibuk mainin sabuk pengaman itu. Gerahnya pesawat sempat bikin gue takut dia rewel, akhirnya kertas instruksi keselamatan pesawat pun gua jadiin kipas. Kaka senang ketika pesawat udah di atas, sabuk pengamannya di lepas dan dia bisa ngeliat awan. Sayang, Kaka duduk paling pinggir, bukan dekat jendela. Yang deket jendela ada mas-mas. Akhirnya, Kaka gue pangku buat bisa liat awan. Dan setelah dipangku, dia nggak mau duduk sendiri lagi. Dia banyak nanya, ngomong sendiri, dan main sendiri. Kekhawatiran saya dia bakal ngamuk karena kelaparan pun hilang. Sampai mendarat, dia nggak rewel, cuma pengen dipangku terus aja. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Kaka lebih pede. Dia duduk di pinggir dekat jendela. Sendiri. Dia udah mau pake sabuk pengaman, nggam mau lagi dipangku, dan banyak nyanyi dan ngomong sendiri. Sekali dia minta susu, abis itu sibuk dengan majalah dan kertas instruksi keselamatan pesawat. Sementara, seorang anak lain nangis mengerang-erang di depan sana. Buat Kaka, seperti apa pun masakapainya, terbang itu menyenangkan.

Selasa, 20 Mei 2014

Palmerah vs Palkuning

Setiap pagi menjelang siang, Kaka nggakmau jauh-jauh dari saya. Dia tau bahwa saya bakal berangkat kerja sebentar lagi. Dan, sebelum kerja dia selalu nanya yang sama. Kaka: "Mama mau ke mana?" Saya: "Mama mau kerja." Kaka: "Kerja di mana?" Saya: " Di Palmerah, itu dekat Slipi." Kaka: "Naik apa?" Saya: "Naik ojek, kereta, angkot." Kaka: "Kaka ikut, ya..." Biasanya percakapan diakhiri dengan jawaban saya, bahwa saya mau kerja, di kantor saya nggak ada anak kecil, nggak ada makanan, bla... bla... Tapi, kemarin ada yang sedikit berbeda, meskipun Kaka membuka percakapan pagi menjelang siang kami dengan pertanyaan biasa. Kaka: "Mama mau ke mana?" Saya: "Kerja." Kaka: "Di mana?" Saya: "Di Palmerah." Kaka: "Palkuning aja ya..." Huahahaaa.. saya ngakak. percakapan pun berhenti di situ. Kaka memandang saya heran. Bagi dia, Palmerah adalah Pal+merah. merah itu bisa diganti dengan warna lain. Nggak kepikiran juga sih sama saya.

Selasa, 25 Februari 2014

Main sama teman

Tiba-tiba saya dapat kiriman foto kaka yang sedang main di rumah bu rt. oleh bu rt. Awalnya saya nggak kenal anak yang di dalam fotoitu. Apalagi, keterangannya hanya, "sedang main". tanpa ada kata kaka. No telp pengirim pun tidak dikenali. Tapi, saya mengenali latar foto itu. Tembok hijau dengan banyak stiker dan coretan tak beraturan. Stiker dan coretan itu kerasi anak bu rt. Bu RT punya dua anak, yang pertana usianya nggak beda jauh dengan si kaka. mungkin hanya setahun lebih sedikit. Yang kedua, sekitar 7 bulanan bedanya, lebih muda dari kaka. Di rumah bu rt banyak mainan. Itu sebabnya kaka senang sekali main dis itu. Apalagi ada dua anak sepantaran yang bisa diajak main. "Kata mbaknya, kaka maunya main jauh-jauh," bu rt bilang. Pernah suatu kali, kaka hilang. Setelah semua orang sibuk mencarinya, ternyata dia ada di rumah bu rt itu. Mungkin saya juga pernah nulis. Saya senang kaka puany teman sepantaran di sekitar rumah, tanpa harus ikut play group. Anak kecil, di kompleks saya itu memang langka. Sama langkanya dengan elpiji menjelang kenaikan harga. Itu memang kompleks lama. Keluarga yang tinggal di situ pun keluarga yang sudah lama.Jadi anak-anak mereka sudah besar. Kalaupun ada anak kecil, biasanya itu penghuni baru dari keluarga baru yang beli rumah 2nd. Ada beberapa juga yang merupakan cucu dari penghuni lama. Ah, itulah kekurangan kompleks saya ini. Meskipun letaknya dekat margonda, anak saya atau saya susah menemukan teman sepantaran. Beda dengan kompleks teman-teman saya yang tergolong baru. Kenapa butuh teman? Kan udah ada anak, suami, atau keluarga yang lain. Siapa punbutuh teman. Buat saya, ada hal-hal yang hanya bisa dibagi dengan teman, bukan dengan suami atau anak. Begitu juga kaka. Kalau sekadar untuk main, kaka nggak akan kekurangan teman. Meskipun saya dan suami bekerja, ada ibu syaa, si mbak, adik syaa, atau ponakan-ponakan saya yang rumahnya cuma selemparan kolor. Tapi, teman tetap berbeda. Teman mengajarkan anak untuk bisa berinteraksi dengan anak-anak seusianya, berkomunikasi, bertoleransi, bersaing secara sehat, percaya pada orang lain, dan banyak lagi. Kemampuan ini bakal penting buat kaka nantinya. Apalagi anak laki-laki. Konon, anak laki-laki butuh punya sahabat, seperti kata tulisan ini. Sebenarnya teman bisa didapat dari mana saja. Cuma kalo di perkotaan, agak lebih sulit buat anak-anak. Gimana mau main kalau anak-anak nggak dizinin keluar? Banyak alasan tentu, bisa karena takut hilang, diculik, kecelakaan karena banyak kenadaraan melintas, dll. Bayangin kalo di kampung, anak seumuran kaka udah bebas berkeliaran. Emaknya mau pergi nggak perlu titip ke orang. Nggak perlu juga ada pengasuh. Bukannya nggak ada jaminan bebas hilang atau bebas kecelakaan. cuma, di kampung, semua orang saling jaga. Jadi kalau mereka udah tau anak itu adalah bagian dari kampung itu, ya bakal di jaga. Seorang anak seumuran kaka, di kampung ibu saya di lampung sana, begitu. Ibu saya selalu antusias cerita tentang anak itu, hafiza namanya. Kalau ibu saya baru pulang kampung, cerita tentang anak itu begini, "si fiza, bangun tidur dia langsung keluar rumah. bawa nasi sepiring. emaknya masih tidur tuh. Nanti dia main sendiri, makan sendiri. terus kalau pipis, dia buak celana sendiri. Emaknjya udah nggak ngurusin lagi. Kalau emaknya bangun, mau ke pasar, ya udah pergi aja. nggak nyariin anaknya dulu. Si fiza makan di mana aja, bisa di rumah si a, si b, atau si c. pokoknya dia gagah." Ah, kaka tentu nggak begitu. Jauh banget bedanya. kaka, keluar dikit aja, nggak pake sendal, kukunya langsung hitam, gompel-gomple, bahkan ada yang kebuka. Kalau main jauh sedikit aja, nanti ada tetangga yang teriakin, "mbak... itu anaknya ke sana". Makanya, si kaka nggak bisa jauh-jauh dari rumah.