Ini bakal jadi cerita terpanjang dari semua cerita soal kakak karena ini cerita akhir kehidupan dia di dalam perut, menuju dunia bebas untuk ketemu langsung dengan saya, papanya, nenek, tante, om, kakak, teman, saudara, mudah-mudahan sih nggak usah ketemu musuh.
Kamis (18 Agustus 2011) emak dan aba datang dari Lampung ke rumah tante. Tapi karena udah terlalu malam, saya baru datang besoknya. Jumat malam sabtu saya nginap di tante. Papup masih di kontrakan.
Sebenarnya malam itu saya belum curiga apa-apa karena prediksi lahiran masih tanggal 22-28 Agustus. Cuma, kata orang, emang bisa lebih cepat.
Malam itu saya keluar cairan kental kayak lem. Tapi tanpa darah. Tapi kata dokter Tofan (pertanyaannya saya titip ke Rance yg kebetulan lg ke dokter) itu keputihan biasa.
Pas sahur, saya bangun dan makan seperti biasa. Duduk di kursi panjang. Tiba-tiba berasa ada cairan keluar. Saya langsung ke kamar mandi. Bener kan, ada cairan keluar yang bukan air kencing. Cairannya kental licin, ada darahnya dikit. Saya langsung berenti sahur dan nanya ke emak. Katanya, itu tanda-tanda, tapi masih lama. Mereka lanjut makan sahur sementara saya mulai gelisah takut itu air ketuban yang merembes. Walaupun belum kerasa mules, Papup langsung saya minta datang dengan tas pakaian yang udah disiapin buat ke rumah sakit.
Pagi-pagi, kebetulan itu hari sabtu, om nganter ke RSB Budhi Jaya Utama yang di Depok Timur. Di sana saya langsung diminta masuk ke ruang tindakan. Seorang bidan kemudian minta saya ngangkang di atas tempat tidur yang kayaknya khusus buat bersalin, tempat tidur tinggi, busa lapis kulit sintetis warna hitam, dan lubang di tengahnya.
Dengan sarung tangan karet, bidan itu kemudian masukin jarinya ke vagina, dia bilang baru pembukaan satu. Tapi memang cairan lendir dan darahnya lebai. Sementara ketuban masih utuh, belum pecah. Saya diminta nunggu 2-3 jam lagi untuk periksa lanjutan.
Tapi akhirnya kami memilih pulang. Katanya di rumah bisa lebih rileks. Emang sih rileks, tapi mules dan sakit perutnya muali datang teratur. Tiap mules itu datang, saya jalan dan jongkok atau nungging. Tapi selebihnya saya lebih banyak ngobrol. Malah sempat-sempatnya ngobrolin jalan ke pasar kaget Juanda yang muncul tiap Minggu pagi.
Semakin sore mulesnya tambah nyata. Tante juga mulai rajin nanya, mulesnya dateng tiap berapa menit. Abisa magrib, setelah semuanya makan, kami berangkat lagi ke Budhi Jaya. Masuk lagi ke kamar tindakan. Bidannya udah beda. Tapi dia bilang ini baru pembukaan dua. Huahhh... Baru dua aja udah lebai banget sakitnya.
Itu jam tujuh. Sambil terus meriksa, tangan saya dipasangin jarum buat masukin obat atau infus. Saking sakitnya mules yang datang teratur itu, tangan saya kiri dan kanan ditusuk-tusuk jarum pun udah nggak kerasa.
Jam 9 malam masuk pembukaan 6. Ketuban belum pecah. Bidan masih mondar-mandir. Emak sama papup nungguin di dalam. Tante, om, dan aba sesekali nengok. Jam 11 masuk pembukaan 9. Bidan langsung manggil dokter Maman Hilman, si dokter yang akhirnya nanti menolong persalinan kaka. Rumahnya di Pesona, jadi bisa cepat, kata bidan. Bidan semakin panik karena lubang infus belum juga didapat.
Dokter datang jam 12 kurang. Udah pembukaan 10, tapi katanya bayinya belum turun. Akhirnya dia pecahin ketuban. Katanya warnanya udah mulai hijau, artinya ada gangguan, mungkin lilitan.
Dokter nungguin lagi. Keluar masuk sambil nyuruh OB beli sate padang buat sahur. Jiahhh.... Baru jam segitu.
Pas dokter masuk lagi jam 12 lewat, periksa dalam, dia bilang bayinya belum turun juga. Dan kemungkinan nggak akan turun. Apagi saya ngedennya emang nggak kuat. Udah keburu lemas.
"Sesar aja," dia mutusin.
Waktu periksa terakhir sama dr Tofan, memang ada lilitan, tapi kata dia cuma melintang jadi tetap bisa normal. Cuma, waktu periksa sama dr Maman beberapa hari sebelumnya, dia bilang bayinya belum turun, kegedean. Saya disaranin sesar. Cuma, saya tetap mau normal, yah selain lebih murah, bisa ngerasain sakit ngelahirin, bisa lebih cepat nyambung hamil, juga ngajarin anak buat berjuang keluar ke dunia hehehee.
Di sinilah sejarah bermula. Dalam keadaan sakit itu, saya ikut kata dr Maman. Sesar pun dipilih. Udah putus asa sama sakitnya dan tenaga yang udah nggak ada. Akhirnya, dengan ambulance, saya pun diboyong ke Hasanah Graha Afiah.